Nama : Rima Alifia Rahmi
NIM: I1C110018
Dosen Pembimbing : Jehan Safitri, S.Psi, M.Psi, Psi
Program Studi Psikologi Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru
NIM: I1C110018
Dosen Pembimbing : Jehan Safitri, S.Psi, M.Psi, Psi
Program Studi Psikologi Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap manusia ingin terlahir sempurna,
tanpa ada kekurangan, tanpa ada kecacatan. Setiap manusia juga ingin memiliki
alat indera yang lengkap, terutama mata. Mata adalah indera yang mempunyai
peranan paling penting dibanding dengan indera lainnya. Melalui mata individu
dapat mengenal dan mengetahui banyak hal. Mata juga membantu dalam beraktivitas
dan mengembangkan kegiatan secara mandiri. Dengan terganggunya indera
penglihatan seseorang, membuat ia tidak dapat menikmati indahnya dunia. Hal
inilah yang dialami oleh orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam hal
melihat yang sering disebut dengan tuna netra. Tuna netra adalah seseorang yang
memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan.
Ditinjau dari sudut
perkembangan manusia, kebutuhan untuk berinteraksi sosial yang paling menonjol
terjadi pada masa remaja. Masa remaja merupakan sebagian dari masa perkembangan
yang selalu dialami oleh setiap individu. Pada masa remaja, individu berusaha
untuk menarik perhatian orang lain, mendapatkan popularitas dan kasih sayang
dari teman sebaya. Semua hal tersebut diperoleh apabila remaja mampu
berinteraksi sosial, karena remaja secara psikologis dan sosial berada dalam
situasi peka dan kritis (Hurlock, 2000).
Pada masa ini, remaja
mengalami banyak perubahan fisik maupun mental. Semua perubahan dan
perkembangan membutuhkan penyesuaian mental, sikap, nilai, dan pendapat yang
baru. Memasuki lingkungan baru selalu
menjadi problema bagi semua orang. Apalagi bagi mereka yang mempunyai kebutuhan
khusus yang diakibatkan oleh kelainan, termasuk remajatuna netra. Baik bagi
mereka yang baru masuk sekolah, maupun bagi mereka yang sudah bersekolah.Adanya
perubahan lingkungan baru bagi remajatuna netra memberikan benturan-benturan yang
dapat mengakibatkan hal-hal yang menyenangkan atau mengecewakan.Bagi anak
tunanetra, memasuki sekolah atau lingkungan yang baru adalah saat-saat yang
kritis, apalagi ia sudah merasakan dirinya berbeda dengan orang lain yang
tentunya mengundang reaksi tertentu. Ketidaksiapan mental anak tunanetra dalam
memasuki sekolah atau lingkungan baru atau kelompok lain yang berbeda atau
lebih luas seringkali mengakibatkan anak tunanetra gagal dalam mengembangkan kemampuan
sosialnya. (Soemantri, 2007)
Sejak dulu manusia
menunjukkan sikap yang berbeda-beda bila berhadapan dengan penderita tunanetra
atau yang penglihatannya terbatas. Kebanyakan orang merasa kasihan karena
penderitaan tunanetra dipandang sebagai orang yang tidak berdaya, merasa takut
untuk berdekatan dengan mereka karena mungkin saja dapat menular, dan merasa
kurang nyaman untuk bergaul dengan orang yang tidak dapat menglihat orang lain
(Mangunsong, 2009).
Beberapa penelitian mengatakan bahwa kesulitan interaksi
sosial terjadi karena justru respon masyarakat yang tidak sesuai pada pada
orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan. Hal ini terjadi karena
orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan memiliki ekspresi wajah yang
berbeda dengan orang yang normal. Contohnya, mereka sulit menyembunyikan
perasaan yang sebenarnya, terutama perasaan yang negatif (dalam Mangungsong,
2009)
Sikap dan pandangan
masyarakat yang negatif seperti ini menyebabkan para remaja tuna netra kurang
percaya diri, menjadi rendah diri, dan minder, sehingga menghambat interaksi
sosialnya dengan orang lain. Menurut Sukini Pradopo (dalam Soemantri, 2007)
mengemukakan gambaran sifat anak tunanetra diantaranya adalah ragu-ragu, rendah
diri, dan curiga pada orang lain. Sedangkan Sommer (dalam Soemantri, 2007)
menyatakan bahwa anak tunanetra cenderung memiliki sifat-sifat yang berlebihan,
menghindari kontak sosial, mempertahankan diri dan menyalahkan orang lain,
serta tidak mengakui kecacatannya.
Interaksi sosial yang baik maupun yang kurang baik merupakan
proses yang tidak diturunkan bagi remajatuna netra, melainkan diperoleh melalui
proses belajar, bimbingan, dan latihan. Akibat ketunanetraan secara langsung
atau tidak langsung, akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak seperti
keterbatasan untuk belajar sosial melalui identifikasi maupun imitasi,
keterbatasan lingkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi kebutuhan
sosialnya, serta adanya faktor-faktor psikologis yang menghambat keinginan anak
untuk memasuki lingkungan sosialnya secara bebas dan aman (Soemantri, 2007).
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan sebuah
penelitian studi kasus dengan judul “Gambaran Interaksi Sosial pada Remaja Tuna
netra di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura”.
B.
Perumusan
Masalah
Perumusan
masalah pada penelitian ini adalah bagaimana gambaran interaksi sosial remaja
tuna netra di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan
pada penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran interaksisosial remaja
tuna netra di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura.
D.
Manfaat
Penelitian
Penelitian
ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu :
1.
Manfaat
Teoritis
Hasil penelitian ini
diharapkan bermanfaat bagi psikologi sosial dan psikologi perkembangan sebagai
sumber penelitian yang akurat terhadap perilaku sosial remaja penyandang tuna netra.
Selain itu, diharapkan juga hasil penelitian ini dapat
dijadikan referensi untuk bahan penelitian bagi peneliti-peneliti selanjutnya.
2.
Manfaat
Praktis
Hasil
penelitian diharapkan bermanfaat bagi remaja, orang tua, pengelola Panti Sosial
sebagai berikut :
a. Manfaat
bagi Remaja: Mengetahui sifat dan karakter pada remaja tuna netra sehingga dapat
menerima dan lebih memahami mereka dalam berinteraksi.
b. Manfaat
bagi Orang Tua: Memahami perilaku dan kepribadian remaja tunanetra untuk melatih
kemampuan interaksi anak sehingga anak mampu berinteraksi sosial dengan
lingkungan disekitarnya.
c. Manfaat
bagi Pengelola Panti Sosial: Lebih memperhatikan program bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah yang
berkaitan dengan kebutuhan interaksi sosial remaja tuna netra.
BAB
II
ISI
A. Fokus Penelitian
A.1
Interaksi Sosial
A.1.1 Pengertian
Interaksi Sosial
Interaksi
sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan
antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, mauppun antara perorangan
dan kelompok manusia (Tim Mitra Guru, 2007).
Interaksi
sosial merupakan proses yang kompleks, yang dilalui oleh setiap orang ketika
mengorganisasi dan menginterpretasikan persepsi dia tentang orang lain dalam
situasi dimana kita sama-sama berada, sehingga memberi kita kesan mengenai
siapakah orang lain itu, apa yang dia sedang perbuat, dan apa sebab dia berbuat
seperti itu (Liliweri, 2005). Interaksi sosial dapat pula dipahami sebagai
sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang untuk menyatakan identitas dirinya
kepada orang lain, dan menerima pengakuan atas identitas diri tersebut sehingga
terbentuk perbedaan identitas antara seseorang dengan orang lain (Liliweri,
2005).
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan sosial yang
dinamis antar individu, antar individu dengan kelompok dan antar kelompok untuk
menyatakan identitas dirinya kepada orang lain dan mengorganisasi serta
menginterpretasikan presepsinya tentang orang lain tersebut dalam situasi
dimana sama-sama berada.
A.1.2
Syarat interaksi Sosial
Kehidupan bersama membutuhkan adanya interaksi antar orang atau
individu sebagai bagian dari kehidupan bersama, bahkan dapat dikatakan bahwa
tanpa interaksi sosial tidaklah mungkin terjadi kehidupan bersama seperti
kelompok sosial maupun masyarakat (Soeroso, 2006). Namun, tidak semua
tindakan manusia merupakan interaksi.
Suatu tindakan manusia dapat dikatakan sebagai interaksi sosial jika memenuhi
syarat-syarat berikut: (Waluyo. dkk, 2008)
1. Adanya
kontak sosial
Kata
kontak berasal dari bahasa latin con
atau cum, yang artinya bersama-sama
dan tango, artinya menyentuh. Jadi
kata kontak secara harfiah, artinya bersama-sama menyentuh. Kontak sosial tidak
hanya bersentuhan secara fisik karena dengan perkembangan teknologi manusia
dapat berhubungan tanpa bersentuhan misalnya melalui telepon, telegrap,
faksimil, dan radio. (Saraswati dan Widianingsih, 2008) Kontak sosial dapat
dibedakan menjadi:
a. Kontak
sosial primer, yaitu interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
secara langsung atau tanpa mengguanakan bantuan sarana. Kontak sosial primer
dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut: (Soeroso, 2006)
1. Tatap
muka
Kontak sosial tatap muka ini akan
melibatkan orang-orang yang melakukan tatap muka secara total, baik emosi,
perasaan, gerak tubuh, maupun raut muka.
2. Gerak
tubuh
Mereka melakukan kontak tersebut
menggunakan symbol-simbol tertentu yang bukan berupa kata-kata, melainkan
dengan gerakan dari tubuh. Misalnya, orang mengormat cukup dengan menundukkan
kepala, menyatakan kesetujuannya dengan mengangguk, atau mengucapkan selamat
tinggal dengan melambaikan tangan.
b. Kontak
sosial sekunder, yaitu interaksi sosial yang dilakukan oleh sua orang atau lebih
secara tidak langsung atau menggunakan bantuan sarana. (Soeroso, 2006) Kontak
sosial ini dibedakan menjadi dua yaitu: (Satu, 2002)
1. Kontak
sekunder langsung, yaitu hubungan yang terjadi melalui suatu media seperti
telepon, atau surat.
2. Kontak
sekunder tidak langsung, yaitu hubungan yang terjadi dengan melalui perantara
pihak ketiga.
Setelah
syarat interaksi sosial yang telah di jelaskan sebelumnya terpenuhi, kemudian
kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu sebagai
berikut: (Waluya, 2007)
a. Antarindividu
Interaksi ini dipengaruhi oleh
pikiran dan perasaan yang mengakibatkan munculnya beberapa fenomena seperti,
jarak sosial, perasaan simpati dan antipasti, intensitas, dan frekuensi
interaksi. Jarak sosial sangat dipengaruhi oleh status dan peranan sosial. Artinya
semakin besar perbedaan status sosial, semakin besar pula jarak sosialnya, dan
sebaliknya. Simpati seseorang didasari oleh adanya perasaan dalam berbagai
aspek kehidupan. Adapun antipasti muncul karena adanya perbedaan penafsiran
terhadap sesuatu sehingga menimbulkan perasaan yang berbeda dengan pihak lain.
Pola interaksi individu dengan individu ditekankan pada aspek-aspek individual,
yang setiap perilaku didasarkan pada keinginan dan tujuan pribadi, dipengaruhi
oleh sosio-psikis pribadi, dan akibat dari hubungan menjadi tanggung jawabnya.
b. Antara
individu dan kelompok
Interaksi yang terjadi antara satu
orang dan sekelompok orang, dapat berupa interaksi langsung maupun tidak
langsung (Tim Mitra Guru, 2007) Dalam hal ini, setiap perilaku didasari kepentingan
kelompok, diatur dengan tata cara yang ditentukan kelompoknya, dan segala
akibat dari hubungan merupakan tanggung jawab bersama.
c. Antarkelompok
Interaksi yang terjadi antar
kelompok juga dapat berupa interaksi langsung maupun tidak langsung (Tim Mitra
Guru, 2007). Pola interaksi antar kelompok dapat terjadi karena aspek etnis
ras, dan agama, termasuk juga didalamnya perbedaan jenis kelamin dan usia,
institusi, partai, organisasi, dan lainnya.
2. Adanya
komunikasi
Definisi
komunikasi menurut Soerjono Soekanto adalah bila seseorang memberi arti pada
perilaku orang lain, tentang perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh
orang tersebut. Lalu, orang bersangkutan member reaksi terhadap perasaan yang
ingin disampaikan oleh lawannya. Pada dasarnya, ada dua jenis komunikasi yaitu
komunikasi verbal dan komunikasi non verbal (Pudjiastiti, 2007).
A.1.3
Sifat-Sifat Interaksi Sosial
Sebagai
bentuk dasar relasi sosial, ada beberapa sifat dari interaksi sosial, yaitu
aksidental, berulang terus tak terencana, teratur tak direncanakan tetapi juga
umum, rancangan dan aturan oleh suatu kebiasaan atau peraturan tertentu, dan
resiprokal (Pudjiastiti, 2007). Pengertian dari masing-masing sifat interaksi
sosial tersebut yaitu:
1. Aksidental,
tak direncanakan
Dua pihak yang melakukan interaksi
sosial yang tak direncanakan atau aksidental ini biasanya tidak saling kenal
sebelumnya (Abdullah, 2006). Misalnya, ketika seseorang bertanya arah jalan
pada orang yang belum dikenal.
2. Berulang
terus, tapi tak terencana
Interaksi ini terjadi tanpa ada
perencanaan (Abdullah, 2006). Misalnya,
seperti ketika kita menyapa teman sekelas atau seseorang yang kita kenal
bertemu dijalan.
3. Teratur,
tak direncanakan, namun juga umum
Interaksi yang bersifat umum dan
terjadi tanpa direncanakan. Interaksi sosial yang teratur dapat dianggap
sebagai interaksi yang rutin terjadi (Abdullah, 2006). Contoh, ketika setiap
hari kita menyapa teman, guru, satpam, atau tukang kebun di sekolah.
4. Karena
rancangan dan aturan oleh suatu kebiasaan atau peraturan tertentu
Interaksi sosial yang berdasarkan
rancangan dapat terjadi karena memang direncanakan sebelumnya. Interaksi akan
terfokus pada permasalahan karena waktu, tempat dan masalah yang akan menjadi
bahan pembicaraan yang sudah disepakati sebelumnya (Abdullah, 2006). Misalnya,
pada setiap istirahat sekolah, kamu tahu mesti berjalan kearah mana untuk bisa
membeli sesuatu untuk dimakan.
5. Resiprokal
Menurut Alvin dan Helen Goudner,
interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang membutuhkan aksi dan reaksi.
6. Pelakunya
dua orang atau lebih
Charles P.Loomis (1905-1995),
sosiolog AS, mengungkapkan bahwa interaksi sosial dapat terjadi bila jumlah
pelakunya dua orang atau lebih, lalu adanya komunikasi antarpelaku, ada dimensi
waktu masa lalu, sekarang, dan yang akan dating, dan adanya tujuan yang
dicapai.
A.1.4
Faktor-faktor penyebab terjadinya interaksi sosial
Setiap
tindakan seseorang selalu didasari oleh faktor-faktor yang mendorongnya. Begitu
pula interaksi sosial, berlangsungnya proses interaksi sosia didasarkan pada
faktor-faktor pendorong. Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya interaksi sosial yaitu: (Satu, 2002)
a. Faktor
sosial, yakni adanya ketergantungan antarmanusia.
b. Faktor
ekonomi yang meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan manusia.
c. Faktor
pendidikan, yaitu dimana manusia memerlukan bantuan orang lain dalam menimba
ilmu pengetahuan.
d. Faktor
budaya atau kultur, yaitu dimana manusia senantiasa berhubungan dengan tradisi,
adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Selain
empat faktor diatas, berlangsungnya
suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor lain, antara lain:
1.
Imitasi, merupakan suatu
tindakan sosial seseorang untuk meniru sikap, tindakan, atau tingkah laku, dan
penampilan fisik orang lain. (Saraswati dan Widianingsih, 2008). Terdapat
beberapa syarat bagi seseorang sebelum melakukan imitasi, yaitu: (Waluya, 2007)
a. Adanya
minat dan perhatian yang cukup besar terhadap hal yang akan ditiru.
b. Adanya
sikap mengagumi hal-hal yang diimitasi
c. Hal
yang akan ditiru cenderung mempunyai penghargaan sosial yang tinggi.
2.
Sugesti,
merupakan rangsangan, pengaruh, atau stimulus yang diberikan seseorang kepada
orang lain sehingga ia melaksanakan apa yang disugestikannya tanpa berfikir
rasional. (Saraswati dan Widianingsih, 2008)Sugesti dapat dibedakan atas tiga
jenis, yaitu sebagai berikut: (Waluya, 2007)
a. Sugesti
kerumunan (crowd suggestion) adalah
penerimaan yang bukan didasarkan pada penalaran, melainkan karena keanggotaan
atau kerumunan.
b. Sugesti
negative (negative suggestion)
ditujukan untuk menghasilkan tekanan-tekanan atau pembatasan tertentu.
c. Sugesti
prestise (prestige suggestion) adalah
sugesti yang muncul sebagai akibat adanya prestise orang lain.
3.
Simpati,
merupakan suatu sikap seseorang yang merasa tertarik kepada orang lain karena
penampilan, kebijaksanaan, atau pola pikirnya sesuai dengan nilai-nilai yang
dianut oleh orang yang menaruh simpati. (Saraswati dan Widianingsih, 2008)
4.
Identifikasi,
merupakan keinginan sama atau identik bahkan serupa dengan orang lain yang
ditiru (idolanya). (Saraswati dan
Widianingsih, 2008)
5.
Empati,
merupakan proses ikut merasakan sesuatu yang dialami pihak lain. Proses empati
biasanya ikut merasakan penderitaan orang lain. (Saraswati dan Widianingsih,
2008)
Proses
interaksi sosial yang terjadi secara tidak maksimal, akan mengakibatkan
terjadinya kehidupan yang terasing. Faktor-faktor yang menyebabkan kehidupan
terasing, misalnya sengaja dikucilkan dari lingkungannya, mengalami cacat,
pengaruh perbedaan ras, dan perbedaan kebudayaan (Saraswati dan Widianingsih,
2008).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
interaksi sosial harus dapat dilakukan secara maksimal agar dapat diterima di
lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, bagi masyarakat yang kehidupannya
terasing seperti para penyandang cacat, dapat melakukan interaksi sosial dengan
baik dengan proses adaptasi, belajar dan
latihan serta meningkatkan kepercayaan diri untuk dapat berinteraksi dan
diterima di lingkungan sekitarnya.
A.1.5
Faktor-faktor yang menghambat terjadinya interaksi sosial
Interaksi
sosial tidak selalu terjadi seperti yang diharapkan, namun ada saja
faktor-faktor yang menghambat interaksi sosial terhadap orang lain.
Faktor-faktor yang menghambat terjadinya interaksi sosial tersebut yaitu:
(Satu, 2002)
a. Faktor
sosial yang meliputi perbedaan status sosial, golongan, maupun agama.
b. Faktor
antropologis yang meliputi latar belakang seseorang, baik asal suku, bahasa,
gaya hidup, maupun norma kehidupannya.
c. Faktor
psikologis yang meliputi psikologi seseorang baik berupa perasaan, maupun
pikirannya.
d. Faktor
ekologis yang meliputi lingkungan fisik dan letak geografis suatu daerah.
A.1.7
Pola Interaksi Sosial
Bentuk
jalinan interaksi yang terjadi antara individu dan individu, individu dan
kelompok, dan antar kelompok bersifat dinamis dan mempunyai pola tertentu.
Apabila interaksi sosial tersebut diulang menurut pola yang sama dan bertahan
untuk jangka waktu yang lama, akan terwujud hubungan sosial yang relative
mapan. Pola interaksi sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Berdasarkan
kedudukan sosial (status) dan peranannya. Merupakan suatu kegiatan yang terus
berlanjut dan berakhir pada suatu titik yang merupakan hasil dari kegiatan
tadi. Contohnya, dari adanya interaksi, seseorang melakukan penyesuaian,
pembauran, terjalin kerja sama, adanya persaingan, muncul suatu pertentangan,
dan seterusnya.
2. Mengandung
dinamika. Artinya dalam proses interaksi sosial terdapat berbagai keadaan nilai
sosial yang diproses, baik yang mengarah pada kesempurnaan maupun kehancuran.
Contohnya, penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat dapat
menciptakan keteraturan sosial.
3. Tidak
mengenal waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Berarti interaksi sosial dapat
terjadi kapan dan dimana pun, dan dapat berakibat positif atau negative
terhadap kehidupan masyarakat (Waluya,
2007).
Interaksi
sosial adalah hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antar individu,
antara individu dengan kelompok dan antarkelompok (Waluya, 2007).
A.1.8
Tahapan dalam Interaksi Sosial
Interaksi
sosial merupakan suatu proses sosial. Dalam hal ini, terdapat tahapan yang bisa
mendekatkan dan tahapan yang bisa merenggangkan orang-orang yang saling
berinteraksi. Tahap-tahap tersebut, yaitu:
1. Tahap
memulai (initiating)
a. Menjajaki
(experimenting)
b. Meningkatkan
(intensifying)
c. Menyatupadukan
(integrating)
d. Mempertalikan
(bonding)
Contohnya
pada saat memulai masuk sekolah, kemudian menjajaki hubungan dengan bertegur
sapa, saling berkenalan, dan bercerita. Hasil penjajakan ini dapat menjadi
dasar untuk memutuskan apakah penjajakan ini dapat menjadi dasar untuk
memutuskan hubungan anda akan ditingkatkan atau tidak dilanjutkan Jika hubungan
sudah semakin meningkat, biasanya muncul perasaan yang sama atau menyatu untuk
kemudian menjalin tali persahabatan (Waluya,
2007).
2. Pada
tahap yang meregangkan
a. Membeda-bedakan
(differentiating)
b. Membatasi
(circumscribing)
c. Menahan
(stagnating)
d. Menghindari
(avoiding)
e. Memutuskan
(terminating)
Contohnya,
diantara dua orang yang dahulunya selalu bersama. Kemudian, mulai melakukan
kegiatan sendiri-sendiri. Oleh karena sering tidak bersama lagi, pembicaraan
diantara mereka pun dibatasi. Dalam hal ini, antarindividu mulai saling menahan
sehingga tidak terjadi lagi komunikasi. Hubungan lebih mengarah pada terjadinya
konflik sehingga walaupun ada komunikasi hanya dilakukan secara terpaksa (Waluya, 2007).
A.1.9
Bentuk Interaksi Sosial
Tahap
interaksi sosial (proses) akan selalu menghasilkan dua bentuk interaksi, yaitu
interaksi sosial asosiatif dan interaksi sosial dissosiatif. Adapun pengertian
dari kedua bentuk interaksi tersebut yaitu:
1. Proses
Asosiatif
Proses asosiatif adalah proses yang mengarah pada terwujudnya
persatuan dan integrasi sosial (asosiatif).
Proses asosiatif ini terbagi menjadi beberapa macam, yaitu: (Waluya, 2007)
a. Kerja
Sama (cooperation)
Kerjasama adalah jaringan interaksi
antara orang perorangan atau kelompok yang berusaha bersama untuk mencapai
tujuan bersama.
b. Akomodasi
(accommodation)
Akomodasi adalah adanya
keseimbangan interaksi sosial yang berkaitan dengan norma dan nilai sosial yang
berlaku. Akomodasi sebagai suatu proses menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk
meredakan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan
kepribadiannya.
c. Asimilasi
(assimilation)
Asimilasi adalah proses penyesuaian
sifat-sifat asli yang dimiliki dengan sifat-sifat lingkungan sekitar. Gillin
dan Gillin menjelaskan bahwa suatu proses sosial dikategorikan pada asimilasi
apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Berkurangnya
perbedaan karena adanya usaha-usaha untuk mengurangi dan menghilangkan
perbedaan antarindividu atau kelompok.
2) Mempererat
kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dan memperhatikan kepentingan serta
tujuan bersama.
3) Setiap
individu sebagai kelompok melakukan interaksi secara langsung dan intensif
secara terus-menerus.
4) Setiap
individu melakukan identifikasi diri dengan kepentingan bersama. Artinya
menyesuaikan kemauannya dengan kemauan kelompok.
d. Akulturasi
(acculturation)
Akulturasi adalah berpadunya
unsur-unsur kebudayaan yang berbeda dan membentuk suatu kebudayaan baru tanpa
menghilangkan kepribadian kebudayaan yang asli.
2. Proses
Disosiatif
Proses disosiatif adalah proses
oposisi yang berarti cara berjuang untuk melawan seseorang atau kelompok untuk
mencapai tujuan tertentu. Adapun proses disosiatif ini terbagi menjadi beberapa
jenis, yaitu: (Waluya, 2007).
a. Persaingan
(competition)
Persaingan merupakan suatu proses
sosial ketika berbagai pihak saling berlomba dan berbuat sesuatu untuk mencapai
tujuan tertentu.
b. Kontravensi
(contravention)
Kontraversi merupakan proses sosial
yang ditandai adanya ketidakpuasan, ketidakpastian, keraguan, penolakan, dan
penyangkalan terhadap kepribadian seseorang atau kelompok yang tidak diungkapkan
secara terbuka.
c. Pertikaian
Pertikaian merupakan amarah dan
rasa benci yang mendorong tindakan untuk melukai, menghancurkan, atau menyerang
pihak lain.
d. Konflik
Konflik merupakan suatu perjuangan
individu atau kelompok sosial untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang
pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan (memukul).
A.2 Remaja
A.2.1
Pengertian Remaja
Istilah
adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere yang
berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi remaja”. Menurut Piaget (dalam Hurlock,
1992 ) masa remaja adalah usia dimana individu berinteraksi dengan masyarakat
dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang
lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama.
Masa
Remaja (adolescence) ialah periode perkembangan transisi dari masa
anak-anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira-kira 10-12
tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun. Masa remaja bermula dengan perubahan
fisik yang cepat, pertumbuhan tinggi dan berat badan yang dramatis, perubahan
bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah
dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada masa
perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol,
pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis, dan semakin banyak waktu yang
diluangkan di luar keluarga. (Santrock, 2002)
Remaja
yaitu tahap dimana perkembangan fisik (alat-alat kelamin) manusia telah
mencapai kematangannya dan dapat berfungsi secara sempurna. Lalu individu disibukkan
dengan dirinya sendiri yang dilatarbelakangi oleh pubertas genital yang memberi
berbagai peluang konflik yang berhubungan dengan seks, pekerjaan, keyakinan
diri dan filsafat hidup. (Sarwono, 2012)
Konsep
Storm and Stress view dari G. Stanley
Hall mengatakan bahwa masa remaja ialah masa pergolakan yang penuh dengan
konflik dan buaian suasana hati. Remaja adalah manusia yang sedang berada pada
suatu periode kehidupan puber, tepatnya ketika seseorang berada pada masa
transisi antara masa kanak-kanak dan masa pemulaan dewasa. Pada saat itu
seorang remaja sedang meninggalkan sifat kekanak-kanakan menuju alam dewasa
yang memikul tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban tertentu dalam masyarakat.
(Santrock, 2002)
Berdasarkan
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan periode perkembangan
transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, dimana pada saat itu
seorang remaja meninggalkan sifat kekanak-kanakan menuju masa dewasa dengan
memikul tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban tertentu dalam masyarakat.
A.2.2
Tahap Perkembangan Remaja
Remaja
merupakan proses penyesuaian diri menuju kedewasaan dengan perlahan
meninggalkan sifat kekanak-kanakannya. Proses remaja dalam menyesuaikan diri
menuju kedewasaan mempunyai tahapan perkembangan. Adapun tahapn perkembangan
tersebut yaitu:
1. Remaja
Awal (early adolescence), usia 11-14
tahun
Seorang remaja pada tahap ini
terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan
dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan
pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang
secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya
kendali terhadap “ego” menyebabkan para remaja awal ini sulit mengerti dan
dimengerti orang dewasa.
2. Remaja
Madya (middle adolescence), usia
15-17 tahun
Pada tahap ini remaja sangat
membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada
kecenderungan “narcistic”, yaitu
mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat
yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan
karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai
atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan sebagainya.
Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipus
Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan
mempererat hubungan kawan-kawan dari lain jenis.
3. Remaja
Akhir (late adolescence), usia 18-20
tahun
Tahap ini adalah masa konsolidasi
menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu:
a. Minat
yang makin mantap dengan fungsi-fungsi intelek
b. Egonya
mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam
pengalaman-pengalaman baru.
c. Terbentuk
identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
d. Egosentrisme
(terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan
antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
e. Tumbuh
“dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public).
A.2.3
Tugas-tugas Perkembangan Masa Remaja
Tugas
perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku
kekanak-kanakkan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan
berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja, menurut
Robert Havighurst adalah :
a. Menerima
kondisi fisiknyadan memanfaatkan tubuhnya secara efektif
b. Menerima
hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang mana
pun.
c. Menerima
peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan).
d. Berusaha
melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan orang dewasa
lainnya.
e. Mempersiapkan
karier ekonomi.
f. Mempersiapkan
perkawinan dan kehidupan berkeluarga
g. Merencanakan
tingkah laku sosial yang bertanggung jawab
h. Mencapai
sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya.
Kata
Havighurst selanjutnya, tercapai atau tidaknya tugas-tugas perkembangan di atas
ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kematangan fisik, desakan dari masyarakat,
dan motivasi dari individu yang bersangkutan (Jensen dalam Sarwono, 2012)
A.2.4
Perkembangan Peran Sosial Remaja
Perkembangan
peran sosial yang dialami oleh remaja dapat dilihat dari keinginannya untuk
mandiri, tetapi ia masih harus terus-menerus mengikuti orang tua. Remaja juga
mempunyai keinginan untuk mencari identitas diri. Hal ini didorong oleh rasa
ingin diakui oleh orang lain dengan cara menonjolkan diri dalam kegiatan
positif. Peran sosial remaja banyak dipengaruhi oleh faktor dari luar diri,
seperti teman sebaya, media massa, and media elektronik (Mulyatiningsih dkk,
2006).
A.3 Tunanetra
A.3.1
Pengertian Tunanetra
Pengertian Tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga
mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar.
(Soemantri, 2007)
Pengertian anak
tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak
berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti
halnya orang normal. Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui
dalam kondisi berikut:
a.
Ketajaman penglihatannya kurang dari
ketajaman yang dimiliki orang awas.
b.
Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau
terdapat cairan tertentu.
c.
Posisi mata sulit dikendalikan oleh
syaraf otak.
d.
Terjadi kerusakan susuna syaraf otak
yang berhubungan dengan penglihatan. (Soemantri, 2007)
Berdasarkan uraian
diatas, disimpulkan bahwa tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya
sebagai penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari tidak berfungsi seperti
halnya orang normal. Tunanetra mencakup
buta total dan penglihatan yang sangat terbatas.
A.3.2
Faktor - faktor Penyebab Ketunanetraan
Secara ilmiah
ketunanetraan anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, apakah itu faktor
dalam diri anak (internal) maupun
faktor dari luar anak (eksternal).
(Soemantri, 2007.)
a.
Faktor dari dalam (internal)
Hal-hal
yang termasuk faktor internal yaitu
faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan.
Kemungkinannya karena faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu,
kekurangan gizi, keracunan obat, dan sebagainya.
b.
Faktor dari luar (eksternal)
Hal-hal
yang teramasuk faktor eksternal
diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan.
Misalnya: kecelakaan, terkena penyakit syphilis yang mengenai matanya saat
dilahirkan. Pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga system
persyarafan rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma,
panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit,
bakteri, ataupun virus.
A.3.3 Batasan Tunanetra
Kenyataannya banyak
batasan yang dikemukakan secara berbeda untuk menjelaskan istilah buta atau
tunanetra. Cartwright dan Cartwright (19840 mengemukakan berbagai batasan
mengenai tunanetra ini dari berbagai sudut pandang. Batasan-batasan dalam
tunanetra yaitu: (Manungsong, 2009)
1. Batasan personal
Sejak dulu manusia menunjukkan sikap yang berbeda-beda
bila berhadapan dengan penderita tunanetra atau yang penglihatannya terbatas.
Kebanyakan orang merasa kasihan karena penderita tunanetra dipandang sebagai
orang yang tidak berdaya, merasa takut untuk berdekatan dengan mereka yang
mungkin saja dapat menular, merasa kurang nyaman untuk bergaul dengan orang
yang tidak dapat melihat orang lain.
2. Batasan Sosial
Scott (dalam Cartwright, 1984) menunjukkan suatu
batasan yang didasarkan pada pandangan sosiologisnya: ketidakmampuan dari
penderita tunanetra merupakan peran sosial yang dipelajari. Berbagai sikap dan
pola tingkah laku yang merupakan ciri dari penderita tunanetra adalah merupakan
hal yang bukan dibawa sejak lahir melainkan lebih karena diperoleh melalui
suatu proses belajar.
3. Batasan Legal/Administratif
Seseorang dinyatakan tunanetra jika setelah
dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya, ternyata
ketajaman visualnya tidak melebihi 20/200 atau setelah dilakukan berbagai upaya
perbaikan terhadap kemampuan visualnya ternyata pandangannya tidak melebihi 20
derajat.
4. Batasan yang digunakan untuk tujuan pendidikan
Berdasarkan sudut pandangan pendidikan, ada dua
kelompok gangguan penglihatan:
a. Siswa yang tergolong buta akademis (educationally blind)
Mencakup
siswa yang tidak dapat lagi menggunakan penglihatannya untuk tujuan belajar
huruf awas/cetak. Pendidikan yang diberikan pada siswa meliputi program
pengajaran yang memberikan kesempatan anak untuk belajar melalui non-visual
senses (sensori lain diluar penglihatan). (Mangunsong, 2009). Seseorang dapat
dikatakan buta jika seseorang tersebut sama sekali tidak mampu menerima
rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0) (Somantri, 2007).
b. Siswa yang melihat sebagian/kurang awas (the
partially sighted/low vision)
Meliputi
siswa dengan penglihatan yang masih berfungsi secara cukup, diantara
20/70-20/200, atau mereka yang mempunyai ketajaman penglihatan normal tapi
medan pandangan kurang dari 20 derajat. Dengan demikian cara belajar utamanya
dapat semaksimal mungkin menggunakan sisa penglihatan (visualnya) (Mangunsong,
2009). Individu dapat dikatakan low vision apabila masih mampu menerima
rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21 atau jarak
individu tersebut hanya mampu membaca headline atau judul pada surat
kabar (Soemantri, 2007). Siswa yang kurang awas memiliki kesulitan dalam
mengerjakan tugas-tugas yang berupa tugas visual. Akan tetapi jika dibantu
dengan beberapa lensa, mereka masih bisa meningkatkan kemampuannya dalam
menyelesaikan tugas dengan menggunakan strategi penglihatan lain, seperti
peralatan untuk low vision, dan modifikasi lingkungan. (Mangunsong, 2009)
A.3.4 Karakteristik/ciri-ciri dari
anak tunanetra
Ciri utama dari mereka
yang mengalami gangguan penglihatan/tunanetra adalah adanya penglihatan yang
tidak normal. Bentuk-bentuk ketidaknormalannya dapat dilihat dari: (Mangunsong,
2009)
a.
Penglihatan sama-samar untuk jarak dekat
atau jauh. Hal ini dijumpai pada kasus myopia,
hyperopia ataupun astigmatismus. Semua ini masih dapat
diatasi dengan menggunakan kacamata ataupun lensa kontak.
b.
Medan penglihatan yang terbatas,
misalnya hanya jelas melihat tepi/perifer atau sentral. Dapat terjadi pada
salah satu atau kedua bola mata.
c.
Tidak mampu membedakan warna.
d.
Adaptasi terhadap terang dan gelap
terhambat. Banyak terjadi pada proses penuaan.
e.
Sangat sensitive/peka terhadap cahaya
atau ruang terang atau photophobic.
Orang-orang albino biasanya merasa kurang nyaman berada dalam ruangan yang
terang.
Kelima ciri tersebut
dapat mempengaruhi perkembangan dalam berbagai bidang. Ciri lain dari gangguan
penglihatan mencakup perkembangan bahasa, kemampuan intelektual, konseptual,
mobilitas, prestasti akademik, penyesuaian sosial dan perilaku-perilaku stereotipik; pembahasannya dikaitkan
pada dampak gangguan penglihatan terhadap dimensi-dimensi tersebut.
(Mangunsong, 2009)
A.3.5
Perkembangan Anak Tunanetra
Manusia berhubungan
dengan lingkungan, baik sosial maupun alam melalui kemampuan inderanya.
Sekalipun masing-masing indera mempunyai sifat dan karakteristik yang khas,
namun dalam bekerja memerlukan kerjasama dan keterpaduan diantara indera-indera
tersebut sehingga memperoleh pengertian atau makna yang lengkap dan utuh
tentang objek di lingkungannya. Diperlukan kerjasama secara terpadu dan
serentak antara indera penglihatan, pendengaran, pengecap, perabaan, dan pembau
atau penciuman untuk mendapatkan pengenalan, pengertian, atau makna yang
lengkap dan utuh tentang lingkungan.
Berikut ini beberapa
ciri perkembangan anak tunanetra menurut Somantri (2006) :
a.
Perkembangan kognitif cenderung
terhambat
Perkembangan
kognitif sangat terkait dengan kemampuan indera penglihatan. Kemampuan kognitif
seseorang menuntut partisipasi aktif, peran dan fungsi penglihatan sebagai
saluran utama dalam melakukan pengamatan terhadap dunia luar. Anak tunanetra
memiliki kekurangan dalam hal visualnya yang menyebabkan perkembangan
kognitifnya cenderung terhambat jika dibandingkan dengan anak normal lainnya.
b.
Perkembangan motorik cenderung lebih
lambat
Kelambatan
ini dikarenakan dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya
koordinasi fungsional antara neuromuscular system (sistem persarafan dan
otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan yang
diberikan oleh lingkungan. Salah satu keterbatasan yang paling menonjol pada
anak tunanetra ialah kemampuan dalam melakukan mobilitas.
c.
Perkembangan emosi anak tunanetra
sedikit mengalami hambatan
Kesulitan bagi anak
tunanetra ialah ketidakmampuannya untuk belajar secara visual tentang
stimulus-stimulus apa saja yang harus diberi respon emosional serta
respon-respon apa yang diberikan terhadap stimulus-stimulus tersebut. Bagi anak
tunanetra pernyataan-pernyataan emosi cenderung dilakukan dengan kata-kata atau
bersifat verbal yang dapat dilakukan secara tepat sejalan dengan bertambahnya
usia, kematangan intelektual dan kemampuan bicara atau bahasanya.
d.
Relatif lebih banyak menghadapi hambatan
dalam perkembangan sosial.
Hambatan-hambatan
tersebut terutama muncul sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari
ketunanetraannya. Kurangnya motivasi, adanya perasaan rendah diri dan malu,
serta sikap-sikap masyarakat yang seringkali tidak menguntungkan seperti
penolakan, penghinaan, ketidakjelasan tuntutan sosial, serta terbatasnya
kesempatan bagi tunanetra untuk belajar tentang pola-pola tingkah laku yang
diterima, merupakan kecenderungan tertentu yang dapat mengakibatkan
perkembangan sosialnya menjadi terhambat.
e.
Perkembangan kepribadian anak tunanetra
masih sering diperdebatkan.
Sebagian
hasil penelitian menunjukan bahwa ada kecenderungan anak tunanetra relatif
lebih banyak yang mengalami gangguan kepribadian yang dicirikan dengan
introversi, neurotik, frustasi, dan kekacauan mental.
A.
Narasi
dan Deskripsi Kasus
Dalam melakukan interaksi sosial,
seseorang harus mampu menguasai seperangkat kemampuan untuk bertingkah laku
sesuai dengan tuntutan masyarakat. Bagi anak tunanetra, penguasaan seperangkat
kemampuan bertingkah laku tersebut tidaklah mudah. Dibandingkan dengan anak dengan
penglihatan normal, anak tunanetra lebih banyak mengalami masalah dalam
perkembangan sosial. Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial
yang lebih luas atau baru, perasaan-perasaan rendah diri, malu, sikap-sikap
masyarakat yang seringkali tidak menguntungkan seperti penolakan, penghinaan,
sikap tak acuh, ketidakjelasan tuntutan sosial, serta terbatasnya keterbatasan
kesempatan bagi anak untuk belajar tentang pola-pola tingkah laku yang diterima
merupakan kecenderungan tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan
sosialnya menjadi terhambat. (Somantri,
2007)
Beberapa penelitian mengatakan bahwa
kesulitan interaksi sosial terjadi karena justru respon masyarakat yang tidak
sesuai pada orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan. Hal ini terjadi
karena orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan memiliki ekspresi wajah
yang berbeda dengan orang normal. Contohnya, mereka sulit menyembunyikan
perasaan yang sebenarnya, terutama perasaan yang negative. (Mangunsong, 2009)
Kontak sosial dengan
teman sebaya tampaknya membutuhkan usaha yang maksimal mengingat komunikasi
nonverbal tidak dapat berfungsi secara efektif. Bila tugas sekolah dapat
dikerjakan dengan baik, dapat membina hubungan dengan keluarga dan teman, maka
kepribadian yang sehat dan unik akan berkembang pada dirinya. (Mangunsong,
2009)
Pada akhirnya dapat
disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan interaksi sosial anak tunanetra sangat
bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan. Akibat ketunanetraan secara langsung
atau tidak langsung, akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak seperti
keterbatasan untuk belajar sosial melalui identifikasi maupun imitasi,
keterbatasan lingkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi kebutuhan
sosialnya, serta adanya faktor-faktor psikologis yang menghambat keinginan anak
untuk memasuki lingkungan sosialnya secara bebas dan aman (Soemantri, 2007).
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini diambil dengan teknik purposive sampling. Subjek penelitian ini adalah dua orang remaja
laki-laki penyandang tunanetra (total
blind) berusia 14 tahun di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan,
Martapura, Kalimantan Selatan.
B.
Tahapan Penelitian
Prosedur
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan
Bogdan (dalam Moleong, 2004) terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian
kualitatif, yaitu tahap pra lapangan atau pra penelitian, tahap penelitian, dan
tahap analisis data atau pasca penelitian.
B.1
Tahap Pra Penelitian
Tahap pra penelitian merupakan tahapan
awal yang dilakukan peneliti sebelum melakukan penelitian lapangan. Pada tahap
persiapan penelitian ini, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk
melaksanakan penelitian (Moleong, 2004) yaitu sebagai berikut :
1. Menentukan
topik penelitian.
2. Mengumpulkan
data atau bahan-bahan mengenai masalah penelitian yang akan dilakukan.
3.
Pembuatan konsep latar belakang masalah
guna mendapatkan alasan yang kuat bagi peneliti untuk melakukan penelitian ini.
4.
Menentukan judul penelitian guna
mendapatkan informasi dan pengetahuan dalam penelitian yang berkaitan dengan
interaksi sosial, maka peneliti
memilih judul “Gambaran Interaksi Sosial pada Remaja Tuna Netra di Panti Sosial
Bina Netra Fajar Harapan Martapura.”
5. Menentukan
subjek penelitian.
Peneliti
menentukan subjek untuk penelitian ini adalah dua orang remaja laki-laki
penyandang tunanetra (total blind)
berusia 14 tahun yang tinggal di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan,
Martapura, Kalimantan Selatan.
6. Menyusun
panduan wawancara.
Panduan
wawancara yang disusun peneliti berdasarkan pada teori-teori yang ada tentang
interaksi sosial.
7. Mengkonsultasikan
kepada dosen pembimbing.
Sebelum
memulai tahap penelitian, hasil sementara yang diperoleh tetap dikonsultasikan
kepada dosen pembimbing untuk mendapatkan pengarahan dan bimbingan, sehingga
peneliti dapat melanjutkan ke tahap penelitian.
B.2
Tahap Pelaksanaan Penelitian
Tahap
ini merupakan tahap di mana peneliti mulai melakukan pengambilan data.
Pengambilan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan wawancara mendalam
kepada kedua subjek penelitian. Peneliti meminta persetujuan responden untuk
dijadikan responden penelitian. Setelah itu membuat janji pertemuan, serta
mulai melakukan observasi dan wawancara.
Berikut
ini merupakan jadwal pengumpulan data yang telah peneliti lakukan adalah
sebagai berikut :
Hari/Tanggal
|
Waktu
|
Kegiatan
|
Tempat
|
Senin,
15 Oktober 2012
|
14.00-15.00
|
Menyerahkan surat pengantar
kepada pihak SLB Fajar Harapan dan pihak Asrama. Sekaligus memilih subjek
penelitian.
|
Panti Sosial Bina
Netra Fajar Harapan Martapura
|
Selasa,
16 Oktober 2012
|
12.00-15.00
|
Observasi Subjek
1 dan 2
|
Panti Sosial Bina
Netra Fajar Harapan Martapura
|
Kamis,
18 Oktober 2012
|
16.00-17.30
|
Wawancara Subjek
1, teman subjek dan guru subjek
|
Panti Sosial Bina
Netra Fajar Harapan Martapura
|
Sabtu,
20 Oktober 2012
|
11.00-13.30
|
Wawancara Subjek
2 dan meminta data subjek kepada pihak asrama
|
Panti Sosial Bina
Netra Fajar Harapan Martapura
|
B.3
Tahap Pasca Penelitian
Tahap ini merupakan tahap akhir
yang dilakukan oleh peneliti setelah mendapatkan data-data yang diperlukan yang
berkaitan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai peneliti. Pada tahap ini
kegiatan yang dilakukan oleh peneliti meliputi :
1.
Menelaah dan mengolah semua data yang
diperoleh di lapangan dari hasil pengambilan data.
2.
Menyajikan data dalam bentuk deskripsi
kasus dan membuat laporan penelitian berdasarkan data-data yang telah
diperoleh.
3.
Membuat kesimpulan berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan.
4.
Mengkonsultasikan laporan penelitian
yang dibuat kepada dosen pembimbing hingga laporan diterima dan siap untuk
dipresentasikan.
C.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data akan berpengaruh
pada langkah-langkah berikutnya sampai pada tahap penarikan kesimpulan. Sangat
pentingnya proses pengumpulan data ini, maka diperlukan teknik yang benar untuk
memperoleh data-data yang akurat, relevan dan dapat dipercaya kebenarannya.
Moleong (2004) menyatakan bahwa dalam setiap proses pengumpulan data, peneliti merupakan
instrumen penelitian yang utama yaitu bagaimana kondisi peneliti, pertanyaan
yang diajukan peneliti dan seberapa dalam hal-hal yang akan diungkap dalam
penelitian tersebut bergantung pada peneliti sendiri. Interaksi antara peneliti
dengan informan diharapkan dapat memperoleh informasi yang mampu mengungkap
permasalahan di lapangan secara lengkap dan tuntas.
Pada
penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti
menggunakan metode penilitian kualitatif karena permasalahan belum jelas,
holistik, kompleks, dinamis, dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada
situasi sosial tersebut dijaring dengan menggunakan metode penelitian
kuantitatif. Selain itu peneliti bermaksud memahami situasi sosial secara
mendalam, menemukan pola, hipotesis, dan teori.
Dengan digunakan metode penelitian
kualitatif, maka data yang didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam,
kredibel, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat dicapai. Dengan metode
kuantitatif fakta-fakta yang tidak tampak oleh indera akan sulit diungkapkan.
Sedangkan dengan metode kualitatif, akan dapat diperoleh data yang lebih
tuntas, pasti, sehingga memiliki kredibilitas yang tinggi. Adapun data yang dikumpulkan pada penelitian ini
adalah data yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran
interaksi sosial pada remaja tuna netra.
Beberapa perlengkapan yang
dipersiapkan sebagai alat pendukung dalam penelitian seperti alat tulis,
kertas, dan kamera. Ada pun teknik mengumpulkan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara dan
dokumentasi (data subjek).
1.
Wawancara
Wawancara
adalah percakapan
dengan bertatap muka dengan tujuan untuk memperoleh informasi aktual, untuk
menilai dan menarik kesimpulan kepribadian individu, untuk tujuan konseling
atau penyuluhan dan tujuan terapeutis. Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab
sepihak yang dikerjakan dengan sistematik, dan berlandaskan kepada tujuan
penyelidikan Dalam proses wawancara ada dua pihak yang menempati
kedudukan yang berbeda yaitu pewawancara (interviewer) sebagai pengejar
informasi atau yang mengajukan pertanyaan dan pihak yang diwawacarai (interviewee)
sebagai pemberi informasi atau yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang
diajukan tersebut (Kartono, 1996). Wawancara yang digunakan dalam penelitian
ini adalah wawancara terstruktur. Wawancara terstruktur merupakan wawancara yang pewawancaranya
menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan yang akan disajikan, sama untuk
setiap subyek penelitian (Moleong, 2004). Sebelum wawancara dilakukan peneliti
membuat pedoman wawancara dengan tujuan agar wawancara yang dilakukan terarah
dan mendapatkan informasi yang runtut dan akurat. Kendala yang dihadapi
peneliti saat akan melaksanakan wawancara adalah penentuan waktu yang harus
disesuaikan dengan kegiatan subyek penelitian. Adapun kegiatan wawancara dan
jawaban dari seluruh informasi dibuat dalam catatan lapangan.
2.
Observasi
Kartono (1996) mengatakan bahwa
observasi merupakan studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial
dan gejala-gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan. Metode observasi
ini digunakan untuk mengamati penampilan perilaku subyek yang meliputi ciri
fisik, sifat, penampilan dan pembawaan juga perilaku ketika wawancara.
Observasi ini menggunakan pedoman observasi yang berisi sebuah daftar
pertanyaan dan jenis kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati. Dalam
penelitian ini, peneliti
melakukan observasi terhadap subjek ketika wawancara dan observasi saat ia
melakukan aktifitas disekolah maupun di asrama. Teknik pengumpulan data
dilakukan di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura.
Data yang telah diperoleh dari
observasi dan wawancara dituangkan kedalam bentuk verbatim berupa tulisan. Data
yang didapatkan dengan metode observasi dan wawancara berupa data deskriptif
yang selanjutnya akan dianalisis sesuai dengan prosedur yang telah
ditentukan.
3.
Studi
Pustaka
Studi Pustaka yaitu dengan jalan
mempelajari buku-buku kepustakaan terhadap teori-teori dan untuk memperoleh
data dilakukan dengan cara mempelajari, membaca, mengutip dari buku-buku
literature, dan arsip subjek. (Moleong, 2004)
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Interaksi
sosial adalah suatu hubungan sosial yang dinamis antar individu, antar individu
dengan kelompok dan antar kelompok untuk menyatakan identitas dirinya kepada
orang lain dan mengorganisasi serta menginterpretasikan presepsinya tentang
orang lain tersebut dalam situasi dimana sama-sama berada.
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa interaksi antar individu yang dilakukan subjek
1 cukup baik. Ia mudah bergaul dengan siapa saja, ramah dan selalu bertegur
sapa, saling menolong dengan orang lain, saling bercanda, dan bepartisipasi
aktif dalam belajar dikelas. Subjek 1 mampu melakukan kerjasama dengan tim,
baik tim kebersihan asrama maupun tim sepak bola. Hal ini membuat subjek 1 disukai
teman-temannya.
Sedangkan
interaksi sosial antarindividu yang dilakukan subjek 2 kurang baik. Subjek 2
dapat bergaul dengan siapa saja dan sangat suka bercanda. Namun, ia tidak
selalu ramah dan tidak selalu bertegur sapa dengan orang yang ia kenal. Selain
itu, ia tidak selalu menolong orang lain dan tidak selalu bepartisipasi aktif dalam
belajar dikelas. Subjek 2 merupakan anak yang tidak bisa diam,mempunyai emosi
yang labil, cenderung egosentris dan sering mengabaikan orang lain. Subjek 2
kurang mampu berinteraksi dengan tim dimana ia selalu memaksakan kehendaknya
sehingga ia terkesan mendominasi. Hal ini membuat subjek 2 cenderung dihindari
oleh teman-temannya.
Pada
akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan interaksi sosial anak
tunanetra sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan(Soemantri, 2007).
Jika ia mampu beradaptasi dengan lingkungan, maka ia dapat melakukan interaksi
sosial dengan baik, begitu pula sebaliknya. Proses adaptasi ini dapat diperoleh
dari proses belajar mengenal dunia sekitar dengan memaksimalkan fungsi indera
yang ada (Orientasi Mobilitas), latihan, belajar memahami orang lain, serta
meningkatkan kepercayaan diri untuk dapat berinteraksi dan diterima di
lingkungan sekitarnya.
B.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan dan kesimpulan-kesimpulan yang dapat diambil, peneliti bermaksud
memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Setiap
remaja tunanetra hendaknya dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar melalui
proses belajar, latihan, serta meningkatkan kepercayaan diri untuk dapat
berinteraksi dan diterima di lingkungan sekitar.
2. Setiap
individu hendaknya mengetahui sifat dan karakter pada remaja tunanetra sehingga
dapat menerima dan lebih memahami remaja tunanetra dalam berinteraksi.
3. Setiap
orang tua dari anak penyandang tunanetra hendaknyadapat melatih anak agar dapat
berinteraksi dengan baik.
4. Kepada
pengelola panti sosial untuk lebih memperhatikan dan meningkatkan program bimbingan, pengajaran, dan
latihan di sekolah yang berkaitan dengan kebutuhan interaksi sosial remaja tuna
netra.
5. Kepada
peneliti lain agar mampu mengembangkan penelitian ini bukan hanya mengenai
interaksi sosial pada remaja tunanetra juga pada aspek-aspek sosial lain yang
saling berkaitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar