Kamis, 13 Maret 2014

Seminar 1 "Gambaran interaksi sosial remaja tuna netra di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura"

Nama : Rima Alifia Rahmi
NIM: I1C110018
Dosen Pembimbing : Jehan Safitri, S.Psi, M.Psi, Psi
Program Studi Psikologi Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan, tanpa ada kecacatan. Setiap manusia juga ingin memiliki alat indera yang lengkap, terutama mata. Mata adalah indera yang mempunyai peranan paling penting dibanding dengan indera lainnya. Melalui mata individu dapat mengenal dan mengetahui banyak hal. Mata juga membantu dalam beraktivitas dan mengembangkan kegiatan secara mandiri. Dengan terganggunya indera penglihatan seseorang, membuat ia tidak dapat menikmati indahnya dunia. Hal inilah yang dialami oleh orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam hal melihat yang sering disebut dengan tuna netra. Tuna netra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan. 
Ditinjau dari sudut perkembangan manusia, kebutuhan untuk berinteraksi sosial yang paling menonjol terjadi pada masa remaja. Masa remaja merupakan sebagian dari masa perkembangan yang selalu dialami oleh setiap individu. Pada masa remaja, individu berusaha untuk menarik perhatian orang lain, mendapatkan popularitas dan kasih sayang dari teman sebaya. Semua hal tersebut diperoleh apabila remaja mampu berinteraksi sosial, karena remaja secara psikologis dan sosial berada dalam situasi peka dan kritis (Hurlock, 2000).
 Pada masa ini, remaja mengalami banyak perubahan fisik maupun mental. Semua perubahan dan perkembangan membutuhkan penyesuaian mental, sikap, nilai, dan pendapat yang baru. Memasuki lingkungan baru selalu menjadi problema bagi semua orang. Apalagi bagi mereka yang mempunyai kebutuhan khusus yang diakibatkan oleh kelainan, termasuk remajatuna netra. Baik bagi mereka yang baru masuk sekolah, maupun bagi mereka yang sudah bersekolah.Adanya perubahan lingkungan baru bagi remajatuna netra memberikan benturan-benturan yang dapat mengakibatkan hal-hal yang menyenangkan atau mengecewakan.Bagi anak tunanetra, memasuki sekolah atau lingkungan yang baru adalah saat-saat yang kritis, apalagi ia sudah merasakan dirinya berbeda dengan orang lain yang tentunya mengundang reaksi tertentu. Ketidaksiapan mental anak tunanetra dalam memasuki sekolah atau lingkungan baru atau kelompok lain yang berbeda atau lebih luas seringkali mengakibatkan anak tunanetra gagal dalam mengembangkan kemampuan sosialnya. (Soemantri, 2007)
Sejak dulu manusia menunjukkan sikap yang berbeda-beda bila berhadapan dengan penderita tunanetra atau yang penglihatannya terbatas. Kebanyakan orang merasa kasihan karena penderitaan tunanetra dipandang sebagai orang yang tidak berdaya, merasa takut untuk berdekatan dengan mereka karena mungkin saja dapat menular, dan merasa kurang nyaman untuk bergaul dengan orang yang tidak dapat menglihat orang lain (Mangunsong, 2009).
Beberapa penelitian mengatakan bahwa kesulitan interaksi sosial terjadi karena justru respon masyarakat yang tidak sesuai pada pada orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan. Hal ini terjadi karena orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan memiliki ekspresi wajah yang berbeda dengan orang yang normal. Contohnya, mereka sulit menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, terutama perasaan yang negatif (dalam Mangungsong, 2009)
Sikap dan pandangan masyarakat yang negatif seperti ini menyebabkan para remaja tuna netra kurang percaya diri, menjadi rendah diri, dan minder, sehingga menghambat interaksi sosialnya dengan orang lain. Menurut Sukini Pradopo (dalam Soemantri, 2007) mengemukakan gambaran sifat anak tunanetra diantaranya adalah ragu-ragu, rendah diri, dan curiga pada orang lain. Sedangkan Sommer (dalam Soemantri, 2007) menyatakan bahwa anak tunanetra cenderung memiliki sifat-sifat yang berlebihan, menghindari kontak sosial, mempertahankan diri dan menyalahkan orang lain, serta tidak mengakui kecacatannya.
Interaksi sosial yang baik maupun yang kurang baik merupakan proses yang tidak diturunkan bagi remajatuna netra, melainkan diperoleh melalui proses belajar, bimbingan, dan latihan. Akibat ketunanetraan secara langsung atau tidak langsung, akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak seperti keterbatasan untuk belajar sosial melalui identifikasi maupun imitasi, keterbatasan lingkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi kebutuhan sosialnya, serta adanya faktor-faktor psikologis yang menghambat keinginan anak untuk memasuki lingkungan sosialnya secara bebas dan aman (Soemantri, 2007).
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan sebuah penelitian studi kasus dengan judul “Gambaran Interaksi Sosial pada Remaja Tuna netra di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura”.

B.     Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana gambaran interaksi sosial remaja tuna netra di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura?

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran interaksisosial remaja tuna netra di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura.

D.    Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu :
1.      Manfaat Teoritis
      Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi psikologi sosial dan psikologi perkembangan sebagai sumber penelitian yang akurat terhadap perilaku sosial remaja penyandang tuna netra. Selain itu, diharapkan juga hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk bahan penelitian bagi peneliti-peneliti selanjutnya.
2.      Manfaat Praktis
        Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi remaja, orang tua, pengelola Panti Sosial sebagai berikut :
a.       Manfaat bagi Remaja: Mengetahui sifat dan karakter pada remaja tuna netra sehingga dapat menerima dan lebih memahami mereka dalam berinteraksi.
b.      Manfaat bagi Orang Tua: Memahami perilaku dan kepribadian remaja tunanetra untuk melatih kemampuan interaksi anak sehingga anak mampu berinteraksi sosial dengan lingkungan disekitarnya.
c.       Manfaat bagi Pengelola Panti Sosial: Lebih memperhatikan program bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah yang berkaitan dengan kebutuhan interaksi sosial remaja tuna netra.



BAB II
ISI

A. Fokus Penelitian
A.1 Interaksi Sosial
A.1.1 Pengertian Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, mauppun antara perorangan dan kelompok manusia (Tim Mitra Guru, 2007).
Interaksi sosial merupakan proses yang kompleks, yang dilalui oleh setiap orang ketika mengorganisasi dan menginterpretasikan persepsi dia tentang orang lain dalam situasi dimana kita sama-sama berada, sehingga memberi kita kesan mengenai siapakah orang lain itu, apa yang dia sedang perbuat, dan apa sebab dia berbuat seperti itu (Liliweri, 2005). Interaksi sosial dapat pula dipahami sebagai sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang untuk menyatakan identitas dirinya kepada orang lain, dan menerima pengakuan atas identitas diri tersebut sehingga terbentuk perbedaan identitas antara seseorang dengan orang lain (Liliweri, 2005).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan sosial yang dinamis antar individu, antar individu dengan kelompok dan antar kelompok untuk menyatakan identitas dirinya kepada orang lain dan mengorganisasi serta menginterpretasikan presepsinya tentang orang lain tersebut dalam situasi dimana sama-sama berada.
A.1.2 Syarat interaksi Sosial
Kehidupan bersama membutuhkan adanya interaksi antar orang atau individu sebagai bagian dari kehidupan bersama, bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa interaksi sosial tidaklah mungkin terjadi kehidupan bersama seperti kelompok sosial maupun masyarakat (Soeroso, 2006). Namun, tidak semua tindakan  manusia merupakan interaksi. Suatu tindakan manusia dapat dikatakan sebagai interaksi sosial jika memenuhi syarat-syarat berikut: (Waluyo. dkk, 2008)
1.      Adanya kontak sosial
Kata kontak berasal dari bahasa latin con atau cum, yang artinya bersama-sama dan tango, artinya menyentuh. Jadi kata kontak secara harfiah, artinya bersama-sama menyentuh. Kontak sosial tidak hanya bersentuhan secara fisik karena dengan perkembangan teknologi manusia dapat berhubungan tanpa bersentuhan misalnya melalui telepon, telegrap, faksimil, dan radio. (Saraswati dan Widianingsih, 2008) Kontak sosial dapat dibedakan menjadi:
a.       Kontak sosial primer, yaitu interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung atau tanpa mengguanakan bantuan sarana. Kontak sosial primer dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut: (Soeroso, 2006)

1.      Tatap muka
Kontak sosial tatap muka ini akan melibatkan orang-orang yang melakukan tatap muka secara total, baik emosi, perasaan, gerak tubuh, maupun raut muka.
2.      Gerak tubuh
Mereka melakukan kontak tersebut menggunakan symbol-simbol tertentu yang bukan berupa kata-kata, melainkan dengan gerakan dari tubuh. Misalnya, orang mengormat cukup dengan menundukkan kepala, menyatakan kesetujuannya dengan mengangguk, atau mengucapkan selamat tinggal dengan melambaikan tangan.
b.      Kontak sosial sekunder, yaitu interaksi sosial yang dilakukan oleh sua orang atau lebih secara tidak langsung atau menggunakan bantuan sarana. (Soeroso, 2006) Kontak sosial ini dibedakan menjadi dua yaitu: (Satu, 2002)
1.      Kontak sekunder langsung, yaitu hubungan yang terjadi melalui suatu media seperti telepon, atau surat.
2.      Kontak sekunder tidak langsung, yaitu hubungan yang terjadi dengan melalui perantara pihak ketiga.
Setelah syarat interaksi sosial yang telah di jelaskan sebelumnya terpenuhi,  kemudian  kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu sebagai berikut: (Waluya, 2007)

a.       Antarindividu
Interaksi ini dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan yang mengakibatkan munculnya beberapa fenomena seperti, jarak sosial, perasaan simpati dan antipasti, intensitas, dan frekuensi interaksi. Jarak sosial sangat dipengaruhi oleh status dan peranan sosial. Artinya semakin besar perbedaan status sosial, semakin besar pula jarak sosialnya, dan sebaliknya. Simpati seseorang didasari oleh adanya perasaan dalam berbagai aspek kehidupan. Adapun antipasti muncul karena adanya perbedaan penafsiran terhadap sesuatu sehingga menimbulkan perasaan yang berbeda dengan pihak lain. Pola interaksi individu dengan individu ditekankan pada aspek-aspek individual, yang setiap perilaku didasarkan pada keinginan dan tujuan pribadi, dipengaruhi oleh sosio-psikis pribadi, dan akibat dari hubungan menjadi tanggung jawabnya.
b.      Antara individu dan kelompok
Interaksi yang terjadi antara satu orang dan sekelompok orang, dapat berupa interaksi langsung maupun tidak langsung (Tim Mitra Guru, 2007) Dalam hal ini, setiap perilaku didasari kepentingan kelompok, diatur dengan tata cara yang ditentukan kelompoknya, dan segala akibat dari hubungan merupakan tanggung jawab bersama.
c.       Antarkelompok
Interaksi yang terjadi antar kelompok juga dapat berupa interaksi langsung maupun tidak langsung (Tim Mitra Guru, 2007). Pola interaksi antar kelompok dapat terjadi karena aspek etnis ras, dan agama, termasuk juga didalamnya perbedaan jenis kelamin dan usia, institusi, partai, organisasi, dan lainnya.
2.      Adanya komunikasi
Definisi komunikasi menurut Soerjono Soekanto adalah bila seseorang memberi arti pada perilaku orang lain, tentang perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Lalu, orang bersangkutan member reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh lawannya. Pada dasarnya, ada dua jenis komunikasi yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non verbal (Pudjiastiti, 2007).
A.1.3 Sifat-Sifat Interaksi Sosial
Sebagai bentuk dasar relasi sosial, ada beberapa sifat dari interaksi sosial, yaitu aksidental, berulang terus tak terencana, teratur tak direncanakan tetapi juga umum, rancangan dan aturan oleh suatu kebiasaan atau peraturan tertentu, dan resiprokal (Pudjiastiti, 2007). Pengertian dari masing-masing sifat interaksi sosial tersebut yaitu:
1.      Aksidental, tak direncanakan
Dua pihak yang melakukan interaksi sosial yang tak direncanakan atau aksidental ini biasanya tidak saling kenal sebelumnya (Abdullah, 2006). Misalnya, ketika seseorang bertanya arah jalan pada orang yang belum dikenal.


2.      Berulang terus, tapi tak terencana
Interaksi ini terjadi tanpa ada perencanaan (Abdullah, 2006).  Misalnya, seperti ketika kita menyapa teman sekelas atau seseorang yang kita kenal bertemu dijalan.
3.      Teratur, tak direncanakan, namun juga umum
Interaksi yang bersifat umum dan terjadi tanpa direncanakan. Interaksi sosial yang teratur dapat dianggap sebagai interaksi yang rutin terjadi (Abdullah, 2006). Contoh, ketika setiap hari kita menyapa teman, guru, satpam, atau tukang kebun di sekolah.
4.      Karena rancangan dan aturan oleh suatu kebiasaan atau peraturan tertentu
Interaksi sosial yang berdasarkan rancangan dapat terjadi karena memang direncanakan sebelumnya. Interaksi akan terfokus pada permasalahan karena waktu, tempat dan masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan yang sudah disepakati sebelumnya (Abdullah, 2006). Misalnya, pada setiap istirahat sekolah, kamu tahu mesti berjalan kearah mana untuk bisa membeli sesuatu untuk dimakan.
5.      Resiprokal
Menurut Alvin dan Helen Goudner, interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang membutuhkan aksi dan reaksi.


6.      Pelakunya dua orang atau lebih
Charles P.Loomis (1905-1995), sosiolog AS, mengungkapkan bahwa interaksi sosial dapat terjadi bila jumlah pelakunya dua orang atau lebih, lalu adanya komunikasi antarpelaku, ada dimensi waktu masa lalu, sekarang, dan yang akan dating, dan adanya tujuan yang dicapai.
A.1.4 Faktor-faktor penyebab terjadinya interaksi sosial
Setiap tindakan seseorang selalu didasari oleh faktor-faktor yang mendorongnya. Begitu pula interaksi sosial, berlangsungnya proses interaksi sosia didasarkan pada faktor-faktor pendorong. Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya interaksi sosial yaitu: (Satu, 2002)
a.       Faktor sosial, yakni adanya ketergantungan antarmanusia.
b.      Faktor ekonomi yang meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan manusia.
c.       Faktor pendidikan, yaitu dimana manusia memerlukan bantuan orang lain dalam menimba ilmu pengetahuan.
d.      Faktor budaya atau kultur, yaitu dimana manusia senantiasa berhubungan dengan tradisi, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Selain empat faktor diatas,  berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor lain, antara lain:
1.      Imitasi, merupakan suatu tindakan sosial seseorang untuk meniru sikap, tindakan, atau tingkah laku, dan penampilan fisik orang lain. (Saraswati dan Widianingsih, 2008). Terdapat beberapa syarat bagi seseorang sebelum melakukan imitasi, yaitu: (Waluya, 2007)
a.       Adanya minat dan perhatian yang cukup besar terhadap hal yang akan ditiru.
b.      Adanya sikap mengagumi hal-hal yang diimitasi
c.       Hal yang akan ditiru cenderung mempunyai penghargaan sosial yang tinggi.
2.      Sugesti, merupakan rangsangan, pengaruh, atau stimulus yang diberikan seseorang kepada orang lain sehingga ia melaksanakan apa yang disugestikannya tanpa berfikir rasional. (Saraswati dan Widianingsih, 2008)Sugesti dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu sebagai berikut: (Waluya, 2007)
a.       Sugesti kerumunan (crowd suggestion) adalah penerimaan yang bukan didasarkan pada penalaran, melainkan karena keanggotaan atau kerumunan.
b.      Sugesti negative (negative suggestion) ditujukan untuk menghasilkan tekanan-tekanan atau pembatasan tertentu.
c.       Sugesti prestise (prestige suggestion) adalah sugesti yang muncul sebagai akibat adanya prestise orang lain.
3.      Simpati, merupakan suatu sikap seseorang yang merasa tertarik kepada orang lain karena penampilan, kebijaksanaan, atau pola pikirnya sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh orang yang menaruh simpati. (Saraswati dan Widianingsih, 2008)
4.      Identifikasi, merupakan keinginan sama atau identik bahkan serupa dengan orang lain yang ditiru (idolanya). (Saraswati dan  Widianingsih, 2008)
5.      Empati, merupakan proses ikut merasakan sesuatu yang dialami pihak lain. Proses empati biasanya ikut merasakan penderitaan orang lain. (Saraswati dan Widianingsih, 2008)
Proses interaksi sosial yang terjadi secara tidak maksimal, akan mengakibatkan terjadinya kehidupan yang terasing. Faktor-faktor yang menyebabkan kehidupan terasing, misalnya sengaja dikucilkan dari lingkungannya, mengalami cacat, pengaruh perbedaan ras, dan perbedaan kebudayaan (Saraswati dan Widianingsih, 2008).
Berdasarkan  uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial harus dapat dilakukan secara maksimal agar dapat diterima di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, bagi masyarakat yang kehidupannya terasing seperti para penyandang cacat, dapat melakukan interaksi sosial dengan baik dengan proses adaptasi, belajar dan  latihan serta meningkatkan kepercayaan diri untuk dapat berinteraksi dan diterima di lingkungan sekitarnya.


A.1.5 Faktor-faktor yang menghambat terjadinya interaksi sosial
Interaksi sosial tidak selalu terjadi seperti yang diharapkan, namun ada saja faktor-faktor yang menghambat interaksi sosial terhadap orang lain. Faktor-faktor yang menghambat terjadinya interaksi sosial tersebut yaitu: (Satu, 2002)
a.       Faktor sosial yang meliputi perbedaan status sosial, golongan, maupun agama.
b.      Faktor antropologis yang meliputi latar belakang seseorang, baik asal suku, bahasa, gaya hidup, maupun norma kehidupannya.
c.       Faktor psikologis yang meliputi psikologi seseorang baik berupa perasaan, maupun pikirannya.
d.      Faktor ekologis yang meliputi lingkungan fisik dan letak geografis suatu daerah.
A.1.7 Pola Interaksi Sosial
Bentuk jalinan interaksi yang terjadi antara individu dan individu, individu dan kelompok, dan antar kelompok bersifat dinamis dan mempunyai pola tertentu. Apabila interaksi sosial tersebut diulang menurut pola yang sama dan bertahan untuk jangka waktu yang lama, akan terwujud hubungan sosial yang relative mapan. Pola interaksi sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Berdasarkan kedudukan sosial (status) dan peranannya. Merupakan suatu kegiatan yang terus berlanjut dan berakhir pada suatu titik yang merupakan hasil dari kegiatan tadi. Contohnya, dari adanya interaksi, seseorang melakukan penyesuaian, pembauran, terjalin kerja sama, adanya persaingan, muncul suatu pertentangan, dan seterusnya.
2.      Mengandung dinamika. Artinya dalam proses interaksi sosial terdapat berbagai keadaan nilai sosial yang diproses, baik yang mengarah pada kesempurnaan maupun kehancuran. Contohnya, penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat dapat menciptakan keteraturan sosial.
3.      Tidak mengenal waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Berarti interaksi sosial dapat terjadi kapan dan dimana pun, dan dapat berakibat positif atau negative terhadap kehidupan masyarakat (Waluya, 2007).
Interaksi sosial adalah hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antar individu, antara individu dengan kelompok dan antarkelompok (Waluya, 2007).
A.1.8 Tahapan dalam Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan suatu proses sosial. Dalam hal ini, terdapat tahapan yang bisa mendekatkan dan tahapan yang bisa merenggangkan orang-orang yang saling berinteraksi. Tahap-tahap tersebut, yaitu:
1.      Tahap memulai (initiating)
a.       Menjajaki (experimenting)
b.      Meningkatkan (intensifying)
c.       Menyatupadukan (integrating)
d.      Mempertalikan (bonding)
Contohnya pada saat memulai masuk sekolah, kemudian menjajaki hubungan dengan bertegur sapa, saling berkenalan, dan bercerita. Hasil penjajakan ini dapat menjadi dasar untuk memutuskan apakah penjajakan ini dapat menjadi dasar untuk memutuskan hubungan anda akan ditingkatkan atau tidak dilanjutkan Jika hubungan sudah semakin meningkat, biasanya muncul perasaan yang sama atau menyatu untuk kemudian menjalin tali persahabatan (Waluya, 2007).
2.      Pada tahap yang meregangkan
a.       Membeda-bedakan (differentiating)
b.      Membatasi (circumscribing)
c.       Menahan (stagnating)
d.      Menghindari (avoiding)
e.       Memutuskan (terminating)
Contohnya, diantara dua orang yang dahulunya selalu bersama. Kemudian, mulai melakukan kegiatan sendiri-sendiri. Oleh karena sering tidak bersama lagi, pembicaraan diantara mereka pun dibatasi. Dalam hal ini, antarindividu mulai saling menahan sehingga tidak terjadi lagi komunikasi. Hubungan lebih mengarah pada terjadinya konflik sehingga walaupun ada komunikasi hanya dilakukan secara terpaksa (Waluya, 2007).
A.1.9 Bentuk Interaksi Sosial
Tahap interaksi sosial (proses) akan selalu menghasilkan dua bentuk interaksi, yaitu interaksi sosial asosiatif dan interaksi sosial dissosiatif. Adapun pengertian dari kedua bentuk interaksi tersebut yaitu:
1.      Proses Asosiatif
Proses asosiatif adalah  proses yang mengarah pada terwujudnya persatuan dan integrasi sosial (asosiatif). Proses asosiatif ini terbagi menjadi beberapa macam, yaitu: (Waluya, 2007)
a.       Kerja Sama (cooperation)
Kerjasama adalah jaringan interaksi antara orang perorangan atau kelompok yang berusaha bersama untuk mencapai tujuan bersama.
b.      Akomodasi (accommodation)
Akomodasi adalah adanya keseimbangan interaksi sosial yang berkaitan dengan norma dan nilai sosial yang berlaku. Akomodasi sebagai suatu proses menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.
c.       Asimilasi (assimilation)
Asimilasi adalah proses penyesuaian sifat-sifat asli yang dimiliki dengan sifat-sifat lingkungan sekitar. Gillin dan Gillin menjelaskan bahwa suatu proses sosial dikategorikan pada asimilasi apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Berkurangnya perbedaan karena adanya usaha-usaha untuk mengurangi dan menghilangkan perbedaan antarindividu atau kelompok.
2)      Mempererat kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dan memperhatikan kepentingan serta tujuan bersama.
3)      Setiap individu sebagai kelompok melakukan interaksi secara langsung dan intensif secara terus-menerus.
4)      Setiap individu melakukan identifikasi diri dengan kepentingan bersama. Artinya menyesuaikan kemauannya dengan kemauan kelompok.
d.      Akulturasi (acculturation)
Akulturasi adalah berpadunya unsur-unsur kebudayaan yang berbeda dan membentuk suatu kebudayaan baru tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan yang asli.
2.      Proses Disosiatif
Proses disosiatif adalah proses oposisi yang berarti cara berjuang untuk melawan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun proses disosiatif ini terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu: (Waluya, 2007).
a.       Persaingan (competition)
Persaingan merupakan suatu proses sosial ketika berbagai pihak saling berlomba dan berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu.
b.      Kontravensi (contravention)
Kontraversi merupakan proses sosial yang ditandai adanya ketidakpuasan, ketidakpastian, keraguan, penolakan, dan penyangkalan terhadap kepribadian seseorang atau kelompok yang tidak diungkapkan secara terbuka.
c.       Pertikaian
Pertikaian merupakan amarah dan rasa benci yang mendorong tindakan untuk melukai, menghancurkan, atau menyerang pihak lain.
d.      Konflik
Konflik merupakan suatu perjuangan individu atau kelompok sosial untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan (memukul).
A.2 Remaja
A.2.1 Pengertian Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi remaja”. Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1992 ) masa remaja adalah usia dimana individu berinteraksi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama.
Masa Remaja (adolescence) ialah  periode perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira-kira 10-12 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun. Masa remaja bermula dengan perubahan fisik yang cepat, pertumbuhan tinggi dan berat badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada masa perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol, pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis, dan semakin banyak waktu yang diluangkan di luar keluarga. (Santrock, 2002)
Remaja yaitu tahap dimana perkembangan fisik (alat-alat kelamin) manusia telah mencapai kematangannya dan dapat berfungsi secara sempurna. Lalu individu disibukkan dengan dirinya sendiri yang dilatarbelakangi oleh pubertas genital yang memberi berbagai peluang konflik yang berhubungan dengan seks, pekerjaan, keyakinan diri dan filsafat hidup. (Sarwono, 2012)
Konsep Storm and Stress view dari G. Stanley Hall mengatakan bahwa masa remaja ialah masa pergolakan yang penuh dengan konflik dan buaian suasana hati. Remaja adalah manusia yang sedang berada pada suatu periode kehidupan puber, tepatnya ketika seseorang berada pada masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa pemulaan dewasa. Pada saat itu seorang remaja sedang meninggalkan sifat kekanak-kanakan menuju alam dewasa yang memikul tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban tertentu dalam masyarakat. (Santrock, 2002)
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan periode perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, dimana pada saat itu seorang remaja meninggalkan sifat kekanak-kanakan menuju masa dewasa dengan memikul tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban tertentu dalam masyarakat.
A.2.2 Tahap Perkembangan Remaja
Remaja merupakan proses penyesuaian diri menuju kedewasaan dengan perlahan meninggalkan sifat kekanak-kanakannya. Proses remaja dalam menyesuaikan diri menuju kedewasaan mempunyai tahapan perkembangan. Adapun tahapn perkembangan tersebut yaitu:
1.      Remaja Awal (early adolescence), usia 11-14 tahun
Seorang remaja pada tahap ini terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego” menyebabkan para remaja awal ini sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa.


2.      Remaja Madya (middle adolescence), usia 15-17 tahun
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipus Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan kawan-kawan dari lain jenis.
3.      Remaja Akhir (late adolescence), usia 18-20 tahun
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu:
a.       Minat yang makin mantap dengan fungsi-fungsi intelek
b.      Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru.
c.       Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
d.      Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
e.       Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public).
A.2.3 Tugas-tugas Perkembangan Masa Remaja
Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakkan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja, menurut Robert Havighurst adalah :
a.       Menerima kondisi fisiknyadan memanfaatkan tubuhnya secara efektif
b.      Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang mana pun.
c.       Menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan).
d.      Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan orang dewasa lainnya.
e.       Mempersiapkan karier ekonomi.
f.       Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga
g.      Merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab
h.      Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya.
Kata Havighurst selanjutnya, tercapai atau tidaknya tugas-tugas perkembangan di atas ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kematangan fisik, desakan dari masyarakat, dan motivasi dari individu yang bersangkutan (Jensen dalam Sarwono, 2012)
A.2.4 Perkembangan Peran Sosial Remaja
Perkembangan peran sosial yang dialami oleh remaja dapat dilihat dari keinginannya untuk mandiri, tetapi ia masih harus terus-menerus mengikuti orang tua. Remaja juga mempunyai keinginan untuk mencari identitas diri. Hal ini didorong oleh rasa ingin diakui oleh orang lain dengan cara menonjolkan diri dalam kegiatan positif. Peran sosial remaja banyak dipengaruhi oleh faktor dari luar diri, seperti teman sebaya, media massa, and media elektronik (Mulyatiningsih dkk, 2006).
A.3 Tunanetra
A.3.1 Pengertian Tunanetra
Pengertian Tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. (Soemantri, 2007)
Pengertian anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang normal. Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut:
a.       Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas.
b.      Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
c.       Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak.
d.      Terjadi kerusakan susuna syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan. (Soemantri, 2007)
Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan bahwa tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya sebagai penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari tidak berfungsi seperti halnya orang normal. Tunanetra mencakup buta total dan penglihatan yang sangat terbatas.
A.3.2 Faktor - faktor Penyebab Ketunanetraan
Secara ilmiah ketunanetraan anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, apakah itu faktor dalam diri anak (internal) maupun faktor dari luar anak (eksternal). (Soemantri, 2007.)
a.       Faktor dari dalam (internal)
Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Kemungkinannya karena faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat, dan sebagainya.
b.      Faktor dari luar (eksternal)
Hal-hal yang teramasuk faktor eksternal diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya: kecelakaan, terkena penyakit syphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan. Pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga system persyarafan rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri, ataupun virus.
A.3.3 Batasan Tunanetra
Kenyataannya banyak batasan yang dikemukakan secara berbeda untuk menjelaskan istilah buta atau tunanetra. Cartwright dan Cartwright (19840 mengemukakan berbagai batasan mengenai tunanetra ini dari berbagai sudut pandang. Batasan-batasan dalam tunanetra yaitu: (Manungsong, 2009)
1.      Batasan personal
Sejak dulu manusia menunjukkan sikap yang berbeda-beda bila berhadapan dengan penderita tunanetra atau yang penglihatannya terbatas. Kebanyakan orang merasa kasihan karena penderita tunanetra dipandang sebagai orang yang tidak berdaya, merasa takut untuk berdekatan dengan mereka yang mungkin saja dapat menular, merasa kurang nyaman untuk bergaul dengan orang yang tidak dapat melihat orang lain.
2.      Batasan Sosial
Scott (dalam Cartwright, 1984) menunjukkan suatu batasan yang didasarkan pada pandangan sosiologisnya: ketidakmampuan dari penderita tunanetra merupakan peran sosial yang dipelajari. Berbagai sikap dan pola tingkah laku yang merupakan ciri dari penderita tunanetra adalah merupakan hal yang bukan dibawa sejak lahir melainkan lebih karena diperoleh melalui suatu proses belajar.
3.      Batasan Legal/Administratif
Seseorang dinyatakan tunanetra jika setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya, ternyata ketajaman visualnya tidak melebihi 20/200 atau setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya ternyata pandangannya tidak melebihi 20 derajat.
4.      Batasan yang digunakan untuk tujuan pendidikan
Berdasarkan sudut pandangan pendidikan, ada dua kelompok gangguan penglihatan:
a.       Siswa yang tergolong buta akademis (educationally blind)
Mencakup siswa yang tidak dapat lagi menggunakan penglihatannya untuk tujuan belajar huruf awas/cetak. Pendidikan yang diberikan pada siswa meliputi program pengajaran yang memberikan kesempatan anak untuk belajar melalui non-visual senses (sensori lain diluar penglihatan). (Mangunsong, 2009). Seseorang dapat dikatakan buta jika seseorang tersebut sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0) (Somantri, 2007).


b.      Siswa yang melihat sebagian/kurang awas (the partially sighted/low vision)
Meliputi siswa dengan penglihatan yang masih berfungsi secara cukup, diantara 20/70-20/200, atau mereka yang mempunyai ketajaman penglihatan normal tapi medan pandangan kurang dari 20 derajat. Dengan demikian cara belajar utamanya dapat semaksimal mungkin menggunakan sisa penglihatan (visualnya) (Mangunsong, 2009). Individu dapat dikatakan low vision apabila masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21 atau jarak individu tersebut hanya mampu membaca headline atau judul pada surat kabar (Soemantri, 2007). Siswa yang kurang awas memiliki kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas yang berupa tugas visual. Akan tetapi jika dibantu dengan beberapa lensa, mereka masih bisa meningkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas dengan menggunakan strategi penglihatan lain, seperti peralatan untuk low vision, dan modifikasi lingkungan. (Mangunsong, 2009)
A.3.4 Karakteristik/ciri-ciri dari anak tunanetra
Ciri utama dari mereka yang mengalami gangguan penglihatan/tunanetra adalah adanya penglihatan yang tidak normal. Bentuk-bentuk ketidaknormalannya dapat dilihat dari: (Mangunsong, 2009)
a.       Penglihatan sama-samar untuk jarak dekat atau jauh. Hal ini dijumpai pada kasus myopia, hyperopia ataupun astigmatismus. Semua ini masih dapat diatasi dengan menggunakan kacamata ataupun lensa kontak.
b.      Medan penglihatan yang terbatas, misalnya hanya jelas melihat tepi/perifer atau sentral. Dapat terjadi pada salah satu atau kedua bola mata.
c.       Tidak mampu membedakan warna.
d.      Adaptasi terhadap terang dan gelap terhambat. Banyak terjadi pada proses penuaan.
e.       Sangat sensitive/peka terhadap cahaya atau ruang terang atau photophobic. Orang-orang albino biasanya merasa kurang nyaman berada dalam ruangan yang terang.
Kelima ciri tersebut dapat mempengaruhi perkembangan dalam berbagai bidang. Ciri lain dari gangguan penglihatan mencakup perkembangan bahasa, kemampuan intelektual, konseptual, mobilitas, prestasti akademik, penyesuaian sosial dan perilaku-perilaku stereotipik; pembahasannya dikaitkan pada dampak gangguan penglihatan terhadap dimensi-dimensi tersebut. (Mangunsong, 2009)
A.3.5 Perkembangan Anak Tunanetra
Manusia berhubungan dengan lingkungan, baik sosial maupun alam melalui kemampuan inderanya. Sekalipun masing-masing indera mempunyai sifat dan karakteristik yang khas, namun dalam bekerja memerlukan kerjasama dan keterpaduan diantara indera-indera tersebut sehingga memperoleh pengertian atau makna yang lengkap dan utuh tentang objek di lingkungannya. Diperlukan kerjasama secara terpadu dan serentak antara indera penglihatan, pendengaran, pengecap, perabaan, dan pembau atau penciuman untuk mendapatkan pengenalan, pengertian, atau makna yang lengkap dan utuh tentang lingkungan.
Berikut ini beberapa ciri perkembangan anak tunanetra menurut Somantri (2006) :
a.       Perkembangan kognitif cenderung terhambat
Perkembangan kognitif sangat terkait dengan kemampuan indera penglihatan. Kemampuan kognitif seseorang menuntut partisipasi aktif, peran dan fungsi penglihatan sebagai saluran utama dalam melakukan pengamatan terhadap dunia luar. Anak tunanetra memiliki kekurangan dalam hal visualnya yang menyebabkan perkembangan kognitifnya cenderung terhambat jika dibandingkan dengan anak normal lainnya.
b.      Perkembangan motorik cenderung lebih lambat
Kelambatan ini dikarenakan dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional antara neuromuscular system (sistem persarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. Salah satu keterbatasan yang paling menonjol pada anak tunanetra ialah kemampuan dalam melakukan mobilitas.
c.       Perkembangan emosi anak tunanetra sedikit mengalami hambatan
Kesulitan bagi anak tunanetra ialah ketidakmampuannya untuk belajar secara visual tentang stimulus-stimulus apa saja yang harus diberi respon emosional serta respon-respon apa yang diberikan terhadap stimulus-stimulus tersebut. Bagi anak tunanetra pernyataan-pernyataan emosi cenderung dilakukan dengan kata-kata atau bersifat verbal yang dapat dilakukan secara tepat sejalan dengan bertambahnya usia, kematangan intelektual dan kemampuan bicara atau bahasanya.
d.      Relatif lebih banyak menghadapi hambatan dalam perkembangan sosial.
Hambatan-hambatan tersebut terutama muncul sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari ketunanetraannya. Kurangnya motivasi, adanya perasaan rendah diri dan malu, serta sikap-sikap masyarakat yang seringkali tidak menguntungkan seperti penolakan, penghinaan, ketidakjelasan tuntutan sosial, serta terbatasnya kesempatan bagi tunanetra untuk belajar tentang pola-pola tingkah laku yang diterima, merupakan kecenderungan tertentu yang dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya menjadi terhambat.
e.       Perkembangan kepribadian anak tunanetra masih sering diperdebatkan.
Sebagian hasil penelitian menunjukan bahwa ada kecenderungan anak tunanetra relatif lebih banyak yang mengalami gangguan kepribadian yang dicirikan dengan introversi, neurotik, frustasi, dan kekacauan mental.
A.    Narasi dan Deskripsi Kasus
Dalam melakukan interaksi sosial, seseorang harus mampu menguasai seperangkat kemampuan untuk bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat. Bagi anak tunanetra, penguasaan seperangkat kemampuan bertingkah laku tersebut tidaklah mudah. Dibandingkan dengan anak dengan penglihatan normal, anak tunanetra lebih banyak mengalami masalah dalam perkembangan sosial. Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas atau baru, perasaan-perasaan rendah diri, malu, sikap-sikap masyarakat yang seringkali tidak menguntungkan seperti penolakan, penghinaan, sikap tak acuh, ketidakjelasan tuntutan sosial, serta terbatasnya keterbatasan kesempatan bagi anak untuk belajar tentang pola-pola tingkah laku yang diterima merupakan kecenderungan tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya menjadi terhambat. (Somantri,  2007) 
Beberapa penelitian mengatakan bahwa kesulitan interaksi sosial terjadi karena justru respon masyarakat yang tidak sesuai pada orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan. Hal ini terjadi karena orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan memiliki ekspresi wajah yang berbeda dengan orang normal. Contohnya, mereka sulit menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, terutama perasaan yang negative. (Mangunsong, 2009) 
Kontak sosial dengan teman sebaya tampaknya membutuhkan usaha yang maksimal mengingat komunikasi nonverbal tidak dapat berfungsi secara efektif. Bila tugas sekolah dapat dikerjakan dengan baik, dapat membina hubungan dengan keluarga dan teman, maka kepribadian yang sehat dan unik akan berkembang pada dirinya. (Mangunsong, 2009) 
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan interaksi sosial anak tunanetra sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan. Akibat ketunanetraan secara langsung atau tidak langsung, akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak seperti keterbatasan untuk belajar sosial melalui identifikasi maupun imitasi, keterbatasan lingkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi kebutuhan sosialnya, serta adanya faktor-faktor psikologis yang menghambat keinginan anak untuk memasuki lingkungan sosialnya secara bebas dan aman (Soemantri, 2007).


BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini diambil dengan teknik purposive sampling. Subjek penelitian ini adalah dua orang remaja laki-laki penyandang tunanetra (total blind) berusia 14 tahun di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan, Martapura, Kalimantan Selatan.
B.     Tahapan Penelitian
Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Bogdan (dalam Moleong, 2004) terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pra lapangan atau pra penelitian, tahap penelitian, dan tahap analisis data atau pasca penelitian.
B.1 Tahap Pra Penelitian
Tahap pra penelitian merupakan tahapan awal yang dilakukan peneliti sebelum melakukan penelitian lapangan. Pada tahap persiapan penelitian ini, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2004) yaitu sebagai berikut :
1.    Menentukan topik penelitian.
2.    Mengumpulkan data atau bahan-bahan mengenai masalah penelitian yang akan dilakukan.

3.    Pembuatan konsep latar belakang masalah guna mendapatkan alasan yang kuat bagi peneliti untuk melakukan penelitian ini.
4.    Menentukan judul penelitian guna mendapatkan informasi dan pengetahuan dalam penelitian yang berkaitan dengan interaksi sosial, maka peneliti memilih judul “Gambaran Interaksi Sosial pada Remaja Tuna Netra di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura.”
5.    Menentukan subjek penelitian.
Peneliti menentukan subjek untuk penelitian ini adalah dua orang remaja laki-laki penyandang tunanetra (total blind) berusia 14 tahun yang tinggal di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan, Martapura, Kalimantan Selatan.
6.    Menyusun panduan wawancara.
Panduan wawancara yang disusun peneliti berdasarkan pada teori-teori yang ada tentang interaksi sosial.
7.    Mengkonsultasikan kepada dosen pembimbing.
Sebelum memulai tahap penelitian, hasil sementara yang diperoleh tetap dikonsultasikan kepada dosen pembimbing untuk mendapatkan pengarahan dan bimbingan, sehingga peneliti dapat melanjutkan ke tahap penelitian.


B.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian
Tahap ini merupakan tahap di mana peneliti mulai melakukan pengambilan data. Pengambilan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan wawancara mendalam kepada kedua subjek penelitian. Peneliti meminta persetujuan responden untuk dijadikan responden penelitian. Setelah itu membuat janji pertemuan, serta mulai melakukan observasi dan wawancara.
Berikut ini merupakan jadwal pengumpulan data yang telah peneliti lakukan adalah sebagai berikut :
Hari/Tanggal
Waktu
Kegiatan
Tempat
Senin,
15 Oktober 2012
14.00-15.00
Menyerahkan surat pengantar kepada pihak SLB Fajar Harapan dan pihak Asrama. Sekaligus memilih subjek penelitian.
Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura
Selasa,
16 Oktober 2012
12.00-15.00
Observasi Subjek 1 dan 2
Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura
Kamis,
18 Oktober 2012
16.00-17.30
Wawancara Subjek 1, teman subjek dan guru subjek
Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura
Sabtu,
20 Oktober 2012
11.00-13.30
Wawancara Subjek 2 dan meminta data subjek kepada pihak asrama
Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura

B.3 Tahap Pasca Penelitian
Tahap ini merupakan tahap akhir yang dilakukan oleh peneliti setelah mendapatkan data-data yang diperlukan yang berkaitan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai peneliti. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan oleh peneliti meliputi :
1.    Menelaah dan mengolah semua data yang diperoleh di lapangan dari hasil pengambilan data.
2.    Menyajikan data dalam bentuk deskripsi kasus dan membuat laporan penelitian berdasarkan data-data yang telah diperoleh.
3.    Membuat kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan.
4.    Mengkonsultasikan laporan penelitian yang dibuat kepada dosen pembimbing hingga laporan diterima dan siap untuk dipresentasikan.
C.    Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data akan berpengaruh pada langkah-langkah berikutnya sampai pada tahap penarikan kesimpulan. Sangat pentingnya proses pengumpulan data ini, maka diperlukan teknik yang benar untuk memperoleh data-data yang akurat, relevan dan dapat dipercaya kebenarannya. Moleong (2004) menyatakan bahwa dalam setiap proses pengumpulan data, peneliti merupakan instrumen penelitian yang utama yaitu bagaimana kondisi peneliti, pertanyaan yang diajukan peneliti dan seberapa dalam hal-hal yang akan diungkap dalam penelitian tersebut bergantung pada peneliti sendiri. Interaksi antara peneliti dengan informan diharapkan dapat memperoleh informasi yang mampu mengungkap permasalahan di lapangan secara lengkap dan tuntas.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti menggunakan metode penilitian kualitatif karena permasalahan belum jelas, holistik, kompleks, dinamis, dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi sosial tersebut dijaring dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif. Selain itu peneliti bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam, menemukan pola, hipotesis, dan teori.
Dengan digunakan metode penelitian kualitatif, maka data yang didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat dicapai. Dengan metode kuantitatif fakta-fakta yang tidak tampak oleh indera akan sulit diungkapkan. Sedangkan dengan metode kualitatif, akan dapat diperoleh data yang lebih tuntas, pasti, sehingga memiliki kredibilitas yang tinggi. Adapun data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran interaksi sosial pada remaja tuna netra.
Beberapa perlengkapan yang dipersiapkan sebagai alat pendukung dalam penelitian seperti alat tulis, kertas, dan kamera. Ada pun teknik mengumpulkan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan dokumentasi (data subjek).
1.            Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan bertatap muka dengan tujuan untuk memperoleh informasi aktual, untuk menilai dan menarik kesimpulan kepribadian individu, untuk tujuan konseling atau penyuluhan dan tujuan terapeutis. Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematik, dan berlandaskan kepada tujuan penyelidikan Dalam proses wawancara ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda yaitu pewawancara (interviewer) sebagai pengejar informasi atau yang mengajukan pertanyaan dan pihak yang diwawacarai (interviewee) sebagai pemberi informasi atau yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan tersebut (Kartono, 1996). Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur. Wawancara terstruktur  merupakan wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan yang akan disajikan, sama untuk setiap subyek penelitian (Moleong, 2004). Sebelum wawancara dilakukan peneliti membuat pedoman wawancara dengan tujuan agar wawancara yang dilakukan terarah dan mendapatkan informasi yang runtut dan akurat. Kendala yang dihadapi peneliti saat akan melaksanakan wawancara adalah penentuan waktu yang harus disesuaikan dengan kegiatan subyek penelitian. Adapun kegiatan wawancara dan jawaban dari seluruh informasi dibuat dalam catatan lapangan.
2.         Observasi
Kartono (1996) mengatakan bahwa observasi merupakan studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan. Metode observasi ini digunakan untuk mengamati penampilan perilaku subyek yang meliputi ciri fisik, sifat, penampilan dan pembawaan juga perilaku ketika wawancara. Observasi ini menggunakan pedoman observasi yang berisi sebuah daftar pertanyaan dan jenis kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi terhadap subjek ketika wawancara dan observasi saat ia melakukan aktifitas disekolah maupun di asrama. Teknik pengumpulan data dilakukan di Panti Sosial Bina Netra Fajar Harapan Martapura.
Data yang telah diperoleh dari observasi dan wawancara dituangkan kedalam bentuk verbatim berupa tulisan. Data yang didapatkan dengan metode observasi dan wawancara berupa data deskriptif yang selanjutnya akan dianalisis sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.
3.            Studi Pustaka
Studi Pustaka yaitu dengan jalan mempelajari buku-buku kepustakaan terhadap teori-teori dan untuk memperoleh data dilakukan dengan cara mempelajari, membaca, mengutip dari buku-buku literature, dan arsip subjek. (Moleong, 2004)





BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Interaksi sosial adalah suatu hubungan sosial yang dinamis antar individu, antar individu dengan kelompok dan antar kelompok untuk menyatakan identitas dirinya kepada orang lain dan mengorganisasi serta menginterpretasikan presepsinya tentang orang lain tersebut dalam situasi dimana sama-sama berada.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa interaksi antar individu yang dilakukan subjek 1 cukup baik. Ia mudah bergaul dengan siapa saja, ramah dan selalu bertegur sapa, saling menolong dengan orang lain, saling bercanda, dan bepartisipasi aktif dalam belajar dikelas. Subjek 1 mampu melakukan kerjasama dengan tim, baik tim kebersihan asrama maupun tim sepak bola. Hal ini membuat subjek 1 disukai teman-temannya.
Sedangkan interaksi sosial antarindividu yang dilakukan subjek 2 kurang baik. Subjek 2 dapat bergaul dengan siapa saja dan sangat suka bercanda. Namun, ia tidak selalu ramah dan tidak selalu bertegur sapa dengan orang yang ia kenal. Selain itu, ia tidak selalu menolong orang lain dan tidak selalu bepartisipasi aktif dalam belajar dikelas. Subjek 2 merupakan anak yang tidak bisa diam,mempunyai emosi yang labil, cenderung egosentris dan sering mengabaikan orang lain. Subjek 2 kurang mampu berinteraksi dengan tim dimana ia selalu memaksakan kehendaknya sehingga ia terkesan mendominasi. Hal ini membuat subjek 2 cenderung dihindari oleh teman-temannya.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan interaksi sosial anak tunanetra sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan(Soemantri, 2007). Jika ia mampu beradaptasi dengan lingkungan, maka ia dapat melakukan interaksi sosial dengan baik, begitu pula sebaliknya. Proses adaptasi ini dapat diperoleh dari proses belajar mengenal dunia sekitar dengan memaksimalkan fungsi indera yang ada (Orientasi Mobilitas), latihan, belajar memahami orang lain, serta meningkatkan kepercayaan diri untuk dapat berinteraksi dan diterima di lingkungan sekitarnya.
B.     Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan-kesimpulan yang dapat diambil, peneliti bermaksud memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1.      Setiap remaja tunanetra hendaknya dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar melalui proses belajar, latihan, serta meningkatkan kepercayaan diri untuk dapat berinteraksi dan diterima di lingkungan sekitar.
2.      Setiap individu hendaknya mengetahui sifat dan karakter pada remaja tunanetra sehingga dapat menerima dan lebih memahami remaja tunanetra dalam berinteraksi.
3.      Setiap orang tua dari anak penyandang tunanetra hendaknyadapat melatih anak agar dapat berinteraksi dengan baik.
4.      Kepada pengelola panti sosial untuk lebih memperhatikan dan meningkatkan program bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah yang berkaitan dengan kebutuhan interaksi sosial remaja tuna netra.
5.      Kepada peneliti lain agar mampu mengembangkan penelitian ini bukan hanya mengenai interaksi sosial pada remaja tunanetra juga pada aspek-aspek sosial lain yang saling berkaitan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar