Kamis, 13 Maret 2014

Proposal Penelitian Kuantitatif " Hubungan Antara Persepsi terhadap Pola Asuh Otoriter dengan Perilaku Agresif Remaja Laki – laki pada Masa Remaja Awal"


Nama: Rima Alifia Rahmi
NIM : I1C110018
Program Studi Psikologi Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Aksi kekerasan dapat terjadi dimana saja, seperti di jalan – jalan, disekolah, bahkan di kompleks – kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, menampar, dll. Tawuran pelajar merupakan hal yang sudah terlalu sering terjadi dewasa ini, bahkan cenderung dianggap hal yang biasa. Pelaku – pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswa – siswa di tingkat SLTP/SMP sederajat. Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi seorang individu atau kelompok.
Berkowitz (1995, dalam Made, Fini, 2008) mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental. Agresi yang dilakukan berturut – turut dalam jangka lama terjadi sejak masa anak – anak akan berdampak terhadap perkembangan kepribadian.
Salah satu factor penyebab agresi yang pertama adalah frustasi dan emosi yang menimbulkan kemarahan. Frustasi adalah hambatan terhadap pencapaian suatu tujuan (Sarwono, 2002). Menurut Watson, Kulik, dan Brown (dalam Soedardjo dan Helmi, 1998) lebih jauh menyatakan bahwa frustasi yang muncul disebabkan adanya factor dari luar yang menekan begitu kuat sehingga muncul perilaku agresi. Frustasi dapat disebabkan oleh anak yang berpresepsi bahwa orang tuanya menginginkan ia untuk  tunduk dan patuh serta selalu menuruti semua kehendak orang tuanya (pola asuh otoriter). Orang tua yang sering memberikan hukuman fisik pada anaknya dikarenakan sang anak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak orang tua. Hal tersebut akan membuat anak marah dan kesal kepada orang tuanya namun ia tidak berani mengungkapkan kemarahannya itu dan melampiaskannya kepada orang lain dalam bentuk perilaku agresif.
Dari latar belakang yang telah disampaikan, maka timbullah keinginan peneliti untuk mengetahui apakah ada hubungan persepsi terhadap pola asuh otoriter dengan perilaku agresif remaja laki – laki kelas 1 di MtsN Banjarmasin Selatan 1 Banjarmasin.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasar uraian di atas maka peneliti membuat rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Apakah ada Hubungan Antara Persepsi terhadap Pola Asuh Otoriter dengan Perilaku Agresif Remaja Laki – laki pada Masa Remaja Awal.

1.3  Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan persepsi terhadap pola asuh otoriter dengan perilaku agresif remaja laki – laki pada masa remaja awal.

1.4  Manfaat Penelitian
1.4.1        Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan informasi mengenai hubungan persepsi terhadap pola asuh otoriter dengan perilaku agresif remaja laki-laki pada masa remaja awal.
1.4.2           Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah :
Dapat memberikan pengetahuan bahwa persepsi anak terhadap pola asuh otoriter orang tua berhubungan  dengan perilaku agresif yang ditimbulkan remaja laki – laki pada masa remaja awal sehingga jenis pola asuh yang diberikan menjadi perhatian orang tua demi membentuk kepribadian anak yang diharapkan berujung pada pemerolehan perilaku anak yang baik dan tidak menyimpang.



BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1Telaah Pustaka    

1.      1. 1 Agresivitas
Agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/instuisi terhadap orang/instuisi lain yang sejatinya disengaja (Berkowitz, 1993,2001 dalam Feldman,2008).  Agresi (aggression) manusia yaitu siksaan yang diarahkan secara sengaja dari berbagai bentuk kekerasan terhadap orang lain (Baron & Richardsin, 1994; Berkowitz, dalam proses penerbitan). Bandura (dalam Baron dan Byrne, 1994) menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar social melalui pengamatan terhadap dunia social.
Pemicu umum dari agresi adalah ketika seseorang mengalami satu kondisi tertentu, yang sering terlihat adalah emosi marah. Perasaan marah akan berlanjut pada keinginan melampiaskannya dalam satu bentuk tertentu pada objek tertentu. Marah adalah sebuah sebuah pernyataan yang disimpulkan dari perasaan yang ditunjukkan yang sering disertai dengan konflik atau frustasi (Segall, dkk, 1999). Menurut pandangan frustasi agresi (frustration-agression hypothesis), frustasi menyebabkan terangsangnya suatu dorongan yang tujuan utamanya adalah menyakiti beberapa orang atau objek-terutama yang dipresepsikan sebagai penyebab frustasi. Pada umumnya frustasi yang menimbulkan kemarahan akan mengejawantah menjadi tingkah laku agresif.
Perilaku agresi di indikasikan antara lain oleh tindakan untuk menyakiti, merusak, baik secara fisik, psikis maupun social. Sasaran orang yang cenderung berprilaku agresif tidak hanya ditujukan kepada musuh tetapi juga kepada benda-benda yang ada dihadapannya yang memberi peluang bagi dirinya untuk merusak . Menurut Sadock & Sadock (2003), bahaya atau pencederaan yang diakibatkan oleh perilaku agresif bisa berupa bahaya atau pencederaan fisikal, namun pula bisa pencederaan nonfisikal, semisal yang terjadi sebagai agresi verbal (agresi lewat kata-kata tajam menyakitkan). Contoh lain dari agresi yang tidak secara langsung  menimbulkan bahaya atau pencederaan fisikal adalah pemaksaan, intimidasi (penekanan), dan pengucilan atau pengasingan social.
Tujuan dari dorongan merusak menurut Freud, adalah kembalinya organism ke kondisi inorganic. Oleh karena kondisi inorganic yang paling utama adalah kematian, maka tujuan akhir dari dorongan agresi adalah penghancuran diri. Serupa dengan dorongan seksual, agresi bersifat fleksibel dan bisa berubah bentuk, misalnya dengan menggoda, bergosip, sarkasme, mempermalukan orang lain, humor ,dan menikmati penderitaan orang lain. Kecenderungan agresi ada pada semua orang dan hal ini menjelaskan mengapa terjadi perang, pembantaian, dan pencemaran agama.
Adler (1956) meyakini bahwa beberapa orang menggunakan agresi (aggression) untuk melindungi superioritas mereka yang berlebihan, yaitu untuk melindungi harga diri mereka yang rapuh. Perlindungan melalui agresi bisa berbentuk depresiasi, dakwaan, atau mendakwa diri sendiri.
Depresiasi (depreciation) adalah kecenderungan untuk menilai rendah pencapaian orang lain dan meninggikan penilaian terhadap diri sendiri. Kecenderungan untuk melindungi semacam ini jelas terlihat dalam perilaku agresi, seperti kecaman dan gossip.
Dakwaan (accusation) adalah kecenderungan menyalahkan orang lain untuk kegagalan seseorang dan untuk balas dendamdemi melindungi harga dirinya yang lemah. Adler (1956) percaya bahwa ada elemen dakwaan agresif dalam semua gaya hidup yang tidak sehat. Orang yang tidak sehat, tanpa terkecuali, bertindak untuk membuat orang lain disekitarnya lebih menderita daripada dirinya.
Mendakwa diri sendiri (self accusation) ditandai dengan menyiksa diri sendiri dan memenuhi diri sendiri dengan perasaan bersalah. Beberapa orang menyiksa dirinya sendiri, termasuk didalamnya masokisme, depresi, dan bunuh diri, sebagai cara untuk melukai orang yang dekat dengan mereka. Rasa bersalah sering kali adalah bentuk perilaku membawa diri sendiri secara agresif.

Perspektif Agresi
·         Perspektif Biologis
 Hormon
Salah satu factor dalam dimensi biologis manusia adalah hormone. Hal yang sering diketahui adalah peran hormone androgen dan testosterone. Secara kebetulan hormone ini terdapat pada lelaki. Beberapa penelitian dengan tema kedua hormone tadi menunjukkan hubungannya dengan kekerasan. Penelitian oleh Booth (1993, dalam Segall, dkk, 1999) menunjukkan adanya hubungan testosterone dan tingkah laku menyimpang pada remaja Amerika Serikat.
 Otak
Bagian dari otak yang disebut hipotalamus terkait dengan tingkah laku agresi. Hipotalamus adalah bagian kecil dari otak yang terletak dibawah otak, berfungsi untuk menjaga homeostatis serta membentuk dan mengatur tingkah-tingkah laku vital, seperti makan, minum, dan hasrat seksual. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Albert, dkk. (1993 dalam Garret, 2003) menemukan bahwa tumor yang tumbuh di bagian hipotalamus memicu munculnya tingkah laku agresi.

·         Perspektif Psikoanalisa
Freud sebagai salah satu tokoh psikoanalisis melihat bahwa sejatinya manusia mempunyai dua insting dasar. Pertama, insting hidup(eros) dan kedua, adalah insting mati (thanatos/death instinct). Insting mati ini yang membawa manusia pada dorongan agresif (Gardner dan Lindzey, 1985).

·         Perspektif Behavioristik
Teori belajar social dari Bandura juga dapat menjelaskan bagaimana agresivitas sebagai tingkah laku social yang dipelajari (Bandura, 1973; Baron dan Richardson, 1994 dalam Baron dan Byrne, 1994; 1994; Feldman, 2008). Salah satu dasar pemahamannya adalah tingkah laku agresi merupakan salah satu bentuk tingkah laku yang rumit. Oleh karena itu dibutuhkan pembelajaran, artinya bahwa agresivitas tidaklah alami. Setidaknya hal ini pernah diajukan pula oleh Margaret Mead (dalam Banyard, 1999) yang melihat bahwa peperangan sebagai salah satu agresivitas yang dipelajari.
Dalam perkembangannya,belajar agresi melalui model tidak hanya yang langsung di mata penontonnya. Melalui media massa hal ini bisa dilakukan, misalnya melalui media televisi. Tayangan-tayangan yang penuh dengan kekerasan tampaknya menjadi salah satu hal yang memicu agresivitas. Peran orang tua juga penting dalam terbentuknya tingkah laku agresi pada anak, khususnya remaja. Badingah (1993) mengungkap terdapat kaitannya antara pola asuh, tingkah laku agresif orang tua, dan kegemaran remaja menonton film keras dengan tingkah laku remaja.
              Penyebab Agresi pada Manusia
1.                             Sosial
Frustasi, terhambatnya atau tercegahnya upaya mencapai tujuan kerap menjadi penyebab agresi. Frustasi dapat menimbulkan agresi jika penyebab frustasi dianggap tidak sah atau tidak dibenarkan (hipotesis Dollard dan Miller, 1939).
Watson, Kulik, dan Brown (dalam Soedardjo dan Helmi, 1998) lebih jauh menyatakan bahwa frustasi yang muncul disebabkan adanya factor dari luar yang menekan begitu kuat sehingga muncul perilaku agresi.
Frustasi dapat disebabkan oleh anak yang berpresepsi bahwa orang tuanya menginginkan ia untuk  tunduk dan patuh serta selalu menuruti semua kehendak orang tuanya (pola asuh otoriter). Orang tua yang sering memberikan hukuman fisik pada anaknya dikarenakan sang anak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak orang tua. Hal tersebut akan membuat anak marah dan kesal kepada orang tuanya namun ia tidak berani mengungkapkan kemarahannya itu dan melampiaskannya kepada orang lain dalam bentuk perilaku agresif. Agresi terhadap sumber marah dapat dipindahkan ke target lain yang tidak bersalah (Marcus-Newhall dkk., 2000)
Provokasi verbal atau fisik adalah penyebab lain dari agresi. Menyepelekan dan merendahkan sebagai ekspresi sikap arogan atau sombong adalah predictor yang kuat bagi munculnya agresi. Faktor social lainnya adalah alcohol (Baron dan Byrne, 1994; Taylor, Peplau, Sears, 2009; Gross, 1992). Kebanyakan hasil penelitian yang terkait dengan konsumsi alcohol menunjukkan kenaikan agresivitas (Hull dan Bond, dalam Taylor; Peplau, Sears, 2009; Madianung, 2003).
2.                        Personal
Pola tingkah laku berdasar kepribadian. Sebagai contoh, orang yang narsis memiliki tingkat agresivitas yang lebih tinggi karena dirinya merasa terancam mana kala ada orang lain yang mempertanyakan dirinya(Bushman dan Baumeister, 1988). Orang - orang narsisme yang tinggi memegang pandangan berlebihan akan nilai dirinya sendiri. Mereka bereaksi dengan tingkat agresi yang sangat tinggi  terhadap umpan balik dari orang lain yang mengancam ego mereka yang besar (Bushman dan Baumeister; 1988).
Hal dasar lain yang perlu diperhatikan adalah adanya perbedaan pada jenis kelamin. Sering diungkapkan bahwa lelaki lebih agresif daripada perempuan (Harris dan Knight-Bohnhoff, 1996 dalam Hadad dan Glassman, 2004; Feldman, 2008).
Hasil penelitian lintas budaya yang dilakukan oleh Whiting dan Edwards (1973 dalam Segall, dkk., 1999) juga patut dipertimbangkan. Penelitian itu menunjukkan bahwa:
1.      Anak laki-laki lebih menunjukkan ekspresi dominan
2.      Merespon secara agresif hingga memulai tingkah laku agresif
3.      Anak lelaki lebih menampilkan agresi dalam bentuk fisik dan verbal.

Pria lebih banyak melakukan perilaku agresif daripada wanita (Harris, 1994, 1996). Pria secara umum lebih cenderung daripada wanita untuk melakukan perilaku agresif dan menjadi target dari perilaku tersebut (Bogard, 1990; Harris, 1992, 1994; Walker, Richardson & Grees, 2000) Pria lebih cenderung untuk menggunakan bentuk langsung dari agresi, tetapi wanitalebih cenderung menggunakan bentuk tidak langsung dari agresi.

3.                          Kebudayaan
Beberapa ahli dari berbagai bidang ilmu seperti antropologi dan psikologi menengarai factor kebudayaan terhadap agresi. Lingkungan geografis, seperti pantai/pesisir, menunjukkan karakter lebih keras daripada masyarakat yang hidup dipedalaman. Nilai dan norma yang mendasari sikap dan tingkah laku masyarakat juga berpengaruh terhadap satu agresivitas satu kelompok.
4.                         Situasional
Penelitian terkait dengan cuaca dan tingkah laku menyebutkan bahwa ketidaknyamanan akibat panas menyebabkan kerusuhan dan bentuk-bentuk agresi lainnya. (Harries K, Stadler, 1983 dalam Gifford, 1997).
                Sumber Daya 
          Daya dukung alam terhadap kebutuhan manusia tidak selamnya mencukupi. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya lebih untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pertama, mencari sumber pemenuhan kebutuhan lain; kedua, mengambil paksa dari pihak yang memilikinya.

6.      Media Massa
Menurut Ade E. Mardiana, tayangan dari televisi berpotensi besar diimitasi oleh pemirsanya (Kompas, 10 November 2008). Oleh karena itu, kemudian dilakukan penelitian tentang hubungan kekerasan dan televisi dengan mengajukan hipotesis “mengamati kekerasan akan meningkatkan agresivitas” (Hadad dan Glassman, 2004). Kekerasan televise menyebabkan agresi (Freedman, 1984). Kekerasan televise dapat menyebabkan perilaku agresif atau antisocial pada anak-anak (Comstock, 1991; Condry, 1989; Gunter, 1994; Liebert & Sprafkin, 1988; Roberts, 1993).

2.1.2 Pola Asuh
Definisi
            Menurut Diana Baumrind (Maccoby, 1980) pola asuh orang tua adalah interaksi antara orang tua dengan remaja yang meliputi apa dan bagaimana orang tua memperlakukan remaja. Proses ini juga meliputi proses mendidik, membimbing, mendisiplinkan, dan melindungi remaja untuk mencapai kedewasaan yang sesuai dengan norma-norma yang ada pada masyarakat.

Jenis – jenis pola asuh menurut Diana Baumrind (1971) :
·         Pengasuhan yang otoriter (authoritarian parenting) ialah suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menetapkan batasan-batasan yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi social anak-anak. Anak-anak yang orang tuanya otoriter seringkali cemas akan perbandingan social, gagal memprakarsai kegiatan, dan memiliki keterampilan yang rendah,. Dan di dalam suatu studi baru-baru ini, disiplin awal yang terlalu kasar diasosiasikan dengan agresi anak (Weiss & Others, 1992).
·         Pengasuhan yang otoritatif (authoritative parenting) ialah mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan dan orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih saying kepada anak. Pengasuhan yang otoritatif diasosiasikan dengan kompetensi social anak-anak.
·         Pengasuhan Permisif
ü  Pengasuhan yang permissive indifferent (permisif tidak perduli) ialah suatu gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Tipe pengasuhan ini diasosiasikan dengan inkompetensi social anak, khususnya kurangnya kendali diri.
ü  Pengasuhan yang permissive indulgent (permisif memanjakan) ialah suatu gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka tapi menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka.
Karakteristik anak berdasarkan pola asuh
  • Authoritarian: penakut, pencemas, menarik diri dari pergaulan, kurang adaptif, kurang tujuan, mudah curiga pada orang lain, agresif, mudah stress, gagal memprakarsai kegiatan, dan memiliki keterampilan yang rendah
  • Permisif          : agresif, tidak mandiri, tidak popular dikalangan teman sebayanya, tidak menaruh hormat pada orang lain, tidak patuh pada orang tua, sok kuasa, kurang mampu mengontrol diri, dan kurang intens mengikuti pelajaran di sekolah.
  • Authoritatif    : mandiri, bertanggung jawab, mempunyai control diri dan kepercayaan diri yang kuat, dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dengan baik, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal yang baru, kooperatif dengan orang dewasa, penurut, patuh dan berorientasi pada prestasi.

2.1.3 Remaja
Definisi
Masa Remaja (adolescence) ialah periode perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira-kira 10-12 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun. Masa remaja bermula dengan perubahan fisik yang cepat, pertumbuhan tinggi dan berat badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada masa perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol, pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis, dan semakin banyak waktu yang diluangkan di luar keluarga.
Konsep Storm and Stress view dari G. Stanley Hall mengatakan bahwa masa remaja ialah masa pergolakan yang penuh dengan konflik dan buaian suasana hati. Remaja adalah manusia yang sedang berada pada suatu periode kehidupan puber, tepatnya ketika seseorang berada pada masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa pemulaan dewasa. Pada saat itu seorang remaja sedang meninggalkan sifat kekanak-kanakan menuju alam dewasa yang memikul tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban tertentu dalam masyarakat.
Masa awal remaja ialah suatu periode ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui tingkat anak-anak (Steinberg, 1993). Banyak orang tua yang melihat remaja mereka berubah dari seorang yang selalu menurut menjadi seseorang yang tidak mau menurut, melawan, dan menentang standar-standar orang tua. Bila hal ini terjadi, orang tua cenderung berusaha mengendalikan dengan keras dan member lebih banyak tekanan kepada remaja agar menaati standar-standar orang tua.
Konflik yang berkepanjangan dan mendalam ini terkait dengan sejumlah masalah remaja seperti pelarian diri dari rumah, kenakalan remaja, putus sekolah, kehamilan dan pernikahan yang terlalu dini, keterlibatan dengan sekte-sekte keagamaan, dan penyalahgunaan obat-obatan (Brook, dkk, 1990).
Beberapa cirri kepribadian remaja adalah sebagai berikut:
  1. Ingin tahu dan senang pada hal-hal yang mengandung bahaya
Rasa ingin  tahu membuat remaja melakukan berbagai percobaan dan eksperimen. Kesempatan untuk keluar rumah, memungkinkan remaja melakukan hal-hal baru.Namu, eksperimen selalu disertai dengan bahaya dan tanggung jawab. Apakah remaja memiliki identitas positif atau negative, bergantung pada keberhasilan eksperimennya serta tanggung jawab dan nilai-nilai yang dianutnya.
  1. Menentang Otoritas
Otoritas adalah kekuasaan, yaitu orang, lembaga, atau system yang mengatur dan memerintah. Misalnya orang tua, kepala sekolah, guru, pemimpin, dan pemerintah. Remaja cenderung tidak menyetujui nilai-nilai hidup orang tuanya dan menjauhkan diri dari keterikatan dengan orang tua. Wujud dari pemberontakan antara lain, lari dari rumah, membangkang, tidak hormat kepada orang tua, mabuk-mabukan, dan ngebut.
  1. Setia kawan dengan kelompok sebaya
Remaja merasa ada keterikatan atau kebersamaan dengan kelompok sebaya. Melalui kehidupan kelompok, remaja dapat berperan, bereksperimen dan mengekspresikan dirinya. Ia diterima dalam segala bentuk keberhasilan dan kegagalannya.
  1. Perilaku yang tidak stabil dan berubah-ubah
Pada waktu tertentu remaja tampak bertanggung jawab, dan pada waktu lain tampak masa bodoh. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam diri remaja terdapat konflik yang mendalam, yang membutuhkan pengertian dan penanggulangan secara bijaksana.
Ada 4 sumber tekanan terhadap kehidupan remaja:
1.      Perorangan: segala keinginan, kepercayaan, harapan, dan cita-citanya.
2.      Keluarga: kepercayaan dan harapan dari anggota keluarga.
3.      Media: Komunikasi media massa (tv, majalah, radio, film, internet, billboard, dll)
4.      Kelompok sebaya: pikiran, harapan, perilaku dan norma yang diterima berlaku bagi remaja.


2.2  Hipotesis
Hipotesis Ilmiah 
Hipotesis dua arah: 
“Ada hubungan antara persepsi terhadap pola asuh otoriter dengan perilaku agresif remaja laki – laki pada masa remaja awal.”
Hipotesis satu arah:
“Semakin tinggi tingkat persepsi remaja laki-laki terhadap pola asuh otoriter orang tuanya akan cenderung diikuti oleh semakin tingginya perilaku agresifnya pada masa remaja awal.”
Hipotesis Nihil:
“Tidak ada hubungan antara persepsi terhadap pola asuh otoriter dengan perilaku agresif remaja laki – laki pada masa remaja awal.”




BAB III
METODE PENELITIAN

1.1  Variabel dan Definisi Operasionalisasinya
3.1.1 Variabel
·         Variabel bebas: Persepsi terhadap pola asuh otoriter
·         Variabel terikat: Perilaku agresif
·         Variabel kendali adalah variable bebas yang efeknya terhadap variable tergantung dikendalikan oleh peneliti dengan cara menjadikan pengaruhnya netral. Dalam penelitian ini meliputi:
ü  Jenis kelamin, dikontrol dengan hanya meneliti sampel berjenis kelamin laki – laki
ü  Tingkat pendidikan, dikontrol dengan meneliti sampel yang sekolah di tingkat Mts kelas 1
ü  Usia, dikontrol denngan hanya memilih anak yang berusia 12-13 tahun.
·         Variabel Moderator adalah variable yang dibiarkan bervariasi agar pengaruhnya terhadap variable tergantung dapat diamati dan diperhitungkan sehingga diperoleh kesimpulan yang lebih cermat mengenai hubungan variable bebas dan variable tergantungnya. Dalam penelitian ini meliputi:
ü  Status social ekonomi, dikontrol dengan teknik randomisasi
ü  Latar Belakang Orang tua

3.1.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian
1.      Pesepsi terhadap pola asuh otoriter
·         Persepsi
Persepsi secara umum merupakan proses perolehan, penafsiran, pemilihan, dan pengaturan informasi indrawi.  Persepsi social adalah aktivitas memersepsikan orang lain dan apa yang membuat mereka dikenali. Sebagai bidang kajian, persepsi social adalah studi terhadap bagaimana orang membentuk kesan dan membuat kesimpulan tentang orang lain (Teiford, 2008).
·         Pola Asuh Otoriter
Pengasuhan yang otoriter (authoritarian parenting) ialah suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menetapkan batasan-batasan yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah).
Jadi, persepsi terhadap pola asuh otoriter yaitu bagaimana anak membentuk kesan dan membuat kesimpulan tentang orang orang tua mereka yang membatasi, menghuk   um dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua, menetapkan batasan-batasan yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah).
2.      Agresi
Agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/instuisi terhadap orang/instuisi lain yang sejatinya disengaja (Berkowitz, 1993,2001 dalam Feldman,2008). Bandura (dalam Baron dan Byrne, 1994) menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar social melalui pengamatan terhadap dunia social.

1.2  Subjek Penelitian
Pada penelitian ini, subjek yang akan diambil adalah remaja laki – laki pada masa remaja awal kira – kira usia 12 – 13 tahun, yang diambil dari siswa – siswi kelas 1 MtsN Banjarmasin Selatan 1 sebanyak 30 orang. Sampel diambil secara acak dengan teknik random sampling.

1.3  Alat pengumpulan data
Pengambilan data pada subjek penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang telah diujicobakan terlebih dahulu. Kuisioner (questioner) sama dengan wawancara yang sangat terstruktur kecuali responden membaca pertanyaan-pertanyaan dan menandai jawaban-jawaban mereka diatas kertas dan bukan menjawab secara verbal kepada pewawancara. Salah satu keuntungan utama survey dengan kuisioner yaitu sangat fleksibel dan dapat dengan mudah diberikan kepada sejumlah besar responden.
Data yang diperoleh lewat penggunaan kuesioner adalah data yang dikategorikan sebagai data factual. Oleh karena itu, reliabilitas hasilnya sangat banyak tergantung pada subjek penelitian sebagai responden, sedangkan pihak peneliti dapat mengupayakan peningkatan reliabilitas itu dengan cara penyajian kalimat-kalimat yang jelas dan disampaikan dengan strategi yang tepat.
Untuk menyusunan kuesioner yang baik, peneliti perlu melakukan semacam prasurvei terlebih dahulu ke lapangan guna memperoleh gambaran umum mengenai data apa saja yang mungkin diperlukan dan dikumpulkan dalam penelitian dan perlu dimasukkan dalam pertanyaan kuesioner. Hal itu penting untuk dilakukan dikarenakan suatu kuesioner yang baik harus mencakup secara komprehensif semua data yang perlu akan tetapi cukup singkat sehingga dapat menghindari pemborosan yang disebabkan terkumpulnya data yang tidak relevan.
Variabel persepsi terhadap pola asuh otoriter diukur menggunakan kuisioner. Angket presepsi terhadap pola asuh otoriter ini terdiri dari 45 item. Skor tinggi pada kuesioner persepsi terhadap pola asuh otoriter orang tua menunjukkan bahwa anak mempresepsi orang tua mengasuh mereka secara otoriter. Sedangkan skor rendah menunjukkan bahwa anak mempresepsi orang tua tidak bersikap otoriter dalam mengasuh mereka.
Variabel perilaku agresi diukur dengan menggunakan kuesioner yang juga telah diujicobakan terlebih dahulu. Kuesioner ini terdiri dari 60 item. Semakin tinggi skor pada kuisioner perilaku agresi ini menunjukkan bahwa remaja cenderung semakin agresi. Skor yang rendah menunjukkan bahwa anak cenderung tidak berprilaku agresi.

1.4  Prosedur
1.4.1        Penyusunan instrument
Pada penelitian ini peneliti menggunakan instrument kuisioner yang diberikan pada siswa sesaat sebelum mereka istirahat.
1.4.2        Persiapan Administrasi
Sebelum pelaksanaan penelitian, peneliti melakukan persiapan administrasi berupa permohonan izin secara lisan dan tertulis (surat izin resmi dari Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Prodi Psikologi)  untuk melaksanakan penelitian pada saat berlangsungnya pembelajaran kepada Kepala sekolah MtsN Banjarmasin Selatan 1 yang sekaligus sebagai guru salah satu mata pelajaran di sekolah tersebut.
1.4.3        Pelaksanaan Penelitian
Kuisioner diberikan setelah mata pelajaran Bahasa Indonesia di MtsN Banjarmasin Selatan 1 selesai. Penelitian dilaksanan pada hari Selasa 19 Desember 2011  pada pukul 09.30 WITA – 10.00 WITA.

1.5  Cara analisis data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier sederhana karena hanya ada 2 variabel (satu variable independen dan satu variable dependen) yang akan dicoba untuk dikorelasikan dan diprediksikan. Teknik regresi ini digunakan untuk mengetahui bagaimana variable terikat dapat diramalkan melalui variable bebas, secara individual (Sugiyono, 2003). Pengujian analisis regresi sederhana ini dilakukan dengan menggunakan bantuan computer program SPSS versi 12.0 for windows.

Hipotesis Statistik
Hipotesis dua arah:
Ha;            ρxy ≠ 0

Hipotesis satu arah:
Ha;            ρxy > 0                        (korelasi positif)

Hipotesis Nihil:
Ho;            ρxy = 0



DAFTAR PUSTAKA

Sarwono, Sarlito W, dan Meinarno, A. Eko. 2009. Psikologi Sosial, Jakarta: Salemba Humanika

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup Edisi 5 Jilid I, Jakarta: Erlangga

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup Edisi 5 Jilid II, Jakarta: Erlangga

Azwar, Saifuddin. 1998. Metode Penelitian Edisi 1 Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sukmonono, Rizki Joko. 2011. Mendongkrak kecerdasan otak dengan meditasi Cetakan I, Jakarta: Visimedia

Saad, Hasballah M. 2003. Perkelahian Pelajar Potret Siswa SMU di DKI Jakarta, Yogyakarta: Galang Press

Sari, Ananta. 2006. Menyikapi Perilaku Agresif Anak, Yogyakarta: Tim Pustaka Familia

Feisal, Jusuf Amir. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insane Press

Byrne, Donn, dan Baron, Robert A. 2003. Psikologi Sosial jilid 2, Jakarta: Erlangga

Martono, Lydia Harlina, dan Joewanta, Satya. 2008. Menangkal Narkoba dan Kekerasan untuk SMA, Remaja, dan Usia Dewasa, Jakarta: Balai Pustaka

2 komentar: