Nama: Rima Alifia Rahmi
NIM : I1C110018
Program Studi Psikologi Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aksi
kekerasan dapat terjadi dimana saja, seperti di jalan – jalan, disekolah,
bahkan di kompleks – kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan
verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, menampar, dll. Tawuran
pelajar merupakan hal yang sudah terlalu sering terjadi dewasa ini, bahkan
cenderung dianggap hal yang biasa. Pelaku – pelaku tindakan aksi ini bahkan
sudah mulai dilakukan oleh siswa – siswa di tingkat SLTP/SMP sederajat. Hal
yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi seorang
individu atau kelompok.
Berkowitz
(1995, dalam Made, Fini, 2008) mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk
perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun
mental. Agresi yang dilakukan berturut – turut dalam jangka lama terjadi sejak
masa anak – anak akan berdampak terhadap perkembangan kepribadian.
Salah
satu factor penyebab agresi yang pertama adalah frustasi dan emosi yang
menimbulkan kemarahan. Frustasi adalah hambatan terhadap pencapaian suatu
tujuan (Sarwono, 2002). Menurut Watson, Kulik, dan Brown (dalam Soedardjo dan
Helmi, 1998) lebih jauh menyatakan bahwa frustasi yang muncul disebabkan adanya
factor dari luar yang menekan begitu kuat sehingga muncul perilaku agresi.
Frustasi dapat disebabkan oleh anak yang berpresepsi bahwa orang tuanya
menginginkan ia untuk tunduk dan patuh
serta selalu menuruti semua kehendak orang tuanya (pola asuh otoriter). Orang
tua yang sering memberikan hukuman fisik pada anaknya dikarenakan sang anak
melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak orang tua. Hal tersebut
akan membuat anak marah dan kesal kepada orang tuanya namun ia tidak berani
mengungkapkan kemarahannya itu dan melampiaskannya kepada orang lain dalam
bentuk perilaku agresif.
Dari
latar belakang yang telah disampaikan, maka timbullah keinginan peneliti untuk
mengetahui apakah ada hubungan persepsi terhadap pola asuh otoriter dengan
perilaku agresif remaja laki – laki kelas 1 di MtsN Banjarmasin Selatan 1
Banjarmasin.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar uraian di atas maka peneliti
membuat rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Apakah ada Hubungan Antara Persepsi
terhadap Pola Asuh Otoriter dengan Perilaku Agresif Remaja Laki – laki pada
Masa Remaja Awal.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan persepsi
terhadap pola asuh otoriter dengan perilaku agresif remaja laki – laki pada
masa remaja awal.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan
informasi mengenai hubungan persepsi terhadap pola asuh otoriter dengan
perilaku agresif remaja laki-laki pada masa remaja awal.
1.4.2
Manfaat Praktis
Adapun
manfaat praktis dari penelitian ini adalah :
Dapat memberikan pengetahuan bahwa persepsi anak
terhadap pola asuh otoriter orang tua berhubungan dengan perilaku agresif yang ditimbulkan
remaja laki – laki pada masa remaja awal sehingga jenis pola asuh yang
diberikan menjadi perhatian orang tua demi membentuk kepribadian anak yang
diharapkan berujung pada pemerolehan perilaku anak yang baik dan tidak
menyimpang.
BAB
2
LANDASAN
TEORI
2.1Telaah
Pustaka
1.
1.
1 Agresivitas
Agresi merupakan tindakan melukai yang
disengaja oleh seseorang/instuisi terhadap orang/instuisi lain yang sejatinya
disengaja (Berkowitz, 1993,2001 dalam Feldman,2008). Agresi (aggression) manusia yaitu siksaan yang
diarahkan secara sengaja dari berbagai bentuk kekerasan terhadap orang lain
(Baron & Richardsin, 1994; Berkowitz, dalam proses penerbitan). Bandura
(dalam Baron dan Byrne, 1994) menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil
dari proses belajar social melalui pengamatan terhadap dunia social.
Pemicu umum dari agresi adalah ketika
seseorang mengalami satu kondisi tertentu, yang sering terlihat adalah emosi
marah. Perasaan marah akan berlanjut pada keinginan melampiaskannya dalam satu
bentuk tertentu pada objek tertentu. Marah adalah sebuah sebuah pernyataan yang
disimpulkan dari perasaan yang ditunjukkan yang sering disertai dengan konflik
atau frustasi (Segall, dkk, 1999). Menurut pandangan frustasi agresi
(frustration-agression hypothesis), frustasi menyebabkan terangsangnya suatu
dorongan yang tujuan utamanya adalah menyakiti beberapa orang atau
objek-terutama yang dipresepsikan sebagai penyebab frustasi. Pada umumnya
frustasi yang menimbulkan kemarahan akan mengejawantah menjadi tingkah laku
agresif.
Perilaku agresi di indikasikan antara
lain oleh tindakan untuk menyakiti, merusak, baik secara fisik, psikis maupun
social. Sasaran orang yang cenderung berprilaku agresif tidak hanya ditujukan
kepada musuh tetapi juga kepada benda-benda yang ada dihadapannya yang memberi
peluang bagi dirinya untuk merusak . Menurut Sadock & Sadock (2003), bahaya
atau pencederaan yang diakibatkan oleh perilaku agresif bisa berupa bahaya atau
pencederaan fisikal, namun pula bisa pencederaan nonfisikal, semisal yang
terjadi sebagai agresi verbal (agresi lewat kata-kata tajam menyakitkan).
Contoh lain dari agresi yang tidak secara langsung menimbulkan bahaya atau pencederaan fisikal
adalah pemaksaan, intimidasi (penekanan), dan pengucilan atau pengasingan
social.
Tujuan dari dorongan merusak menurut
Freud, adalah kembalinya organism ke kondisi inorganic. Oleh karena kondisi
inorganic yang paling utama adalah kematian, maka tujuan akhir dari dorongan
agresi adalah penghancuran diri. Serupa dengan dorongan seksual, agresi
bersifat fleksibel dan bisa berubah bentuk, misalnya dengan menggoda, bergosip,
sarkasme, mempermalukan orang lain, humor ,dan menikmati penderitaan orang
lain. Kecenderungan agresi ada pada semua orang dan hal ini menjelaskan mengapa
terjadi perang, pembantaian, dan pencemaran agama.
Adler (1956) meyakini bahwa beberapa
orang menggunakan agresi (aggression) untuk melindungi superioritas mereka yang
berlebihan, yaitu untuk melindungi harga diri mereka yang rapuh. Perlindungan
melalui agresi bisa berbentuk depresiasi, dakwaan, atau mendakwa diri sendiri.
Depresiasi
(depreciation) adalah kecenderungan untuk menilai rendah pencapaian orang lain
dan meninggikan penilaian terhadap diri sendiri. Kecenderungan untuk melindungi
semacam ini jelas terlihat dalam perilaku agresi, seperti kecaman dan gossip.
Dakwaan
(accusation) adalah kecenderungan menyalahkan orang lain untuk kegagalan
seseorang dan untuk balas dendamdemi melindungi harga dirinya yang lemah. Adler
(1956) percaya bahwa ada elemen dakwaan agresif dalam semua gaya hidup yang
tidak sehat. Orang yang tidak sehat, tanpa terkecuali, bertindak untuk membuat
orang lain disekitarnya lebih menderita daripada dirinya.
Mendakwa
diri sendiri (self accusation) ditandai dengan
menyiksa diri sendiri dan memenuhi diri sendiri dengan perasaan bersalah.
Beberapa orang menyiksa dirinya sendiri, termasuk didalamnya masokisme,
depresi, dan bunuh diri, sebagai cara untuk melukai orang yang dekat dengan
mereka. Rasa bersalah sering kali adalah bentuk perilaku membawa diri sendiri
secara agresif.
Perspektif Agresi
·
Perspektif
Biologis
Hormon
Salah
satu factor dalam dimensi biologis manusia adalah hormone. Hal yang sering
diketahui adalah peran hormone androgen dan testosterone. Secara kebetulan
hormone ini terdapat pada lelaki. Beberapa penelitian dengan tema kedua hormone
tadi menunjukkan hubungannya dengan kekerasan. Penelitian oleh Booth (1993,
dalam Segall, dkk, 1999) menunjukkan adanya hubungan testosterone dan tingkah
laku menyimpang pada remaja Amerika Serikat.
Otak
Bagian
dari otak yang disebut hipotalamus terkait dengan tingkah laku agresi.
Hipotalamus adalah bagian kecil dari otak yang terletak dibawah otak, berfungsi
untuk menjaga homeostatis serta membentuk dan mengatur tingkah-tingkah laku
vital, seperti makan, minum, dan hasrat seksual. Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Albert, dkk. (1993 dalam Garret, 2003) menemukan bahwa tumor
yang tumbuh di bagian hipotalamus memicu munculnya tingkah laku agresi.
·
Perspektif
Psikoanalisa
Freud
sebagai salah satu tokoh psikoanalisis melihat bahwa sejatinya manusia
mempunyai dua insting dasar. Pertama, insting hidup(eros) dan kedua, adalah
insting mati (thanatos/death instinct). Insting mati ini yang membawa manusia
pada dorongan agresif (Gardner dan Lindzey, 1985).
·
Perspektif
Behavioristik
Teori
belajar social dari Bandura juga dapat menjelaskan bagaimana agresivitas
sebagai tingkah laku social yang dipelajari (Bandura, 1973; Baron dan
Richardson, 1994 dalam Baron dan Byrne, 1994; 1994; Feldman, 2008). Salah satu
dasar pemahamannya adalah tingkah laku agresi merupakan salah satu bentuk
tingkah laku yang rumit. Oleh karena itu dibutuhkan pembelajaran, artinya bahwa
agresivitas tidaklah alami. Setidaknya hal ini pernah diajukan pula oleh
Margaret Mead (dalam Banyard, 1999) yang melihat bahwa peperangan sebagai salah
satu agresivitas yang dipelajari.
Dalam
perkembangannya,belajar agresi melalui model tidak hanya yang langsung di mata
penontonnya. Melalui media massa hal ini bisa dilakukan, misalnya melalui media
televisi. Tayangan-tayangan yang penuh dengan kekerasan tampaknya menjadi salah
satu hal yang memicu agresivitas. Peran orang tua juga penting dalam terbentuknya
tingkah laku agresi pada anak, khususnya remaja. Badingah (1993) mengungkap
terdapat kaitannya antara pola asuh, tingkah laku agresif orang tua, dan
kegemaran remaja menonton film keras dengan tingkah laku remaja.
Penyebab Agresi pada Manusia
1.
Sosial
Frustasi, terhambatnya atau tercegahnya upaya
mencapai tujuan kerap menjadi penyebab agresi. Frustasi dapat menimbulkan
agresi jika penyebab frustasi dianggap tidak sah atau tidak dibenarkan
(hipotesis Dollard dan Miller, 1939).
Watson, Kulik, dan Brown (dalam Soedardjo dan Helmi,
1998) lebih jauh menyatakan bahwa frustasi yang muncul disebabkan adanya factor
dari luar yang menekan begitu kuat sehingga muncul perilaku agresi.
Frustasi dapat disebabkan oleh anak yang berpresepsi bahwa orang tuanya menginginkan ia untuk tunduk dan patuh serta selalu menuruti semua kehendak orang tuanya (pola asuh otoriter). Orang tua yang sering memberikan hukuman fisik pada anaknya dikarenakan sang anak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak orang tua. Hal tersebut akan membuat anak marah dan kesal kepada orang tuanya namun ia tidak berani mengungkapkan kemarahannya itu dan melampiaskannya kepada orang lain dalam bentuk perilaku agresif. Agresi terhadap sumber marah dapat dipindahkan ke target lain yang tidak bersalah (Marcus-Newhall dkk., 2000)
Frustasi dapat disebabkan oleh anak yang berpresepsi bahwa orang tuanya menginginkan ia untuk tunduk dan patuh serta selalu menuruti semua kehendak orang tuanya (pola asuh otoriter). Orang tua yang sering memberikan hukuman fisik pada anaknya dikarenakan sang anak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak orang tua. Hal tersebut akan membuat anak marah dan kesal kepada orang tuanya namun ia tidak berani mengungkapkan kemarahannya itu dan melampiaskannya kepada orang lain dalam bentuk perilaku agresif. Agresi terhadap sumber marah dapat dipindahkan ke target lain yang tidak bersalah (Marcus-Newhall dkk., 2000)
Provokasi verbal atau fisik adalah penyebab lain
dari agresi. Menyepelekan dan merendahkan sebagai ekspresi sikap arogan atau
sombong adalah predictor yang kuat bagi munculnya agresi. Faktor social lainnya
adalah alcohol (Baron dan Byrne, 1994; Taylor, Peplau, Sears, 2009; Gross,
1992). Kebanyakan hasil penelitian yang terkait dengan konsumsi alcohol
menunjukkan kenaikan agresivitas (Hull dan Bond, dalam Taylor; Peplau, Sears,
2009; Madianung, 2003).
2.
Personal
Pola tingkah laku berdasar kepribadian. Sebagai
contoh, orang yang narsis memiliki tingkat agresivitas yang lebih tinggi karena
dirinya merasa terancam mana kala ada orang lain yang mempertanyakan
dirinya(Bushman dan Baumeister, 1988). Orang - orang narsisme yang tinggi memegang
pandangan berlebihan akan nilai dirinya sendiri. Mereka bereaksi dengan tingkat
agresi yang sangat tinggi terhadap umpan
balik dari orang lain yang mengancam ego mereka yang besar (Bushman dan
Baumeister; 1988).
Hal dasar lain yang perlu diperhatikan adalah adanya
perbedaan pada jenis kelamin. Sering diungkapkan bahwa lelaki lebih agresif
daripada perempuan (Harris dan Knight-Bohnhoff, 1996 dalam Hadad dan Glassman,
2004; Feldman, 2008).
Hasil penelitian lintas budaya yang dilakukan oleh
Whiting dan Edwards (1973 dalam Segall, dkk., 1999) juga patut dipertimbangkan.
Penelitian itu menunjukkan bahwa:
1. Anak
laki-laki lebih menunjukkan ekspresi dominan
2. Merespon
secara agresif hingga memulai tingkah laku agresif
3. Anak
lelaki lebih menampilkan agresi dalam bentuk fisik dan verbal.
Pria lebih banyak melakukan perilaku agresif daripada wanita (Harris, 1994, 1996). Pria secara umum lebih cenderung daripada wanita untuk melakukan perilaku agresif dan menjadi target dari perilaku tersebut (Bogard, 1990; Harris, 1992, 1994; Walker, Richardson & Grees, 2000) Pria lebih cenderung untuk menggunakan bentuk langsung dari agresi, tetapi wanitalebih cenderung menggunakan bentuk tidak langsung dari agresi.
3.
Kebudayaan
Beberapa ahli dari berbagai bidang ilmu seperti
antropologi dan psikologi menengarai factor kebudayaan terhadap agresi.
Lingkungan geografis, seperti pantai/pesisir, menunjukkan karakter lebih keras
daripada masyarakat yang hidup dipedalaman. Nilai dan norma yang mendasari
sikap dan tingkah laku masyarakat juga berpengaruh terhadap satu agresivitas
satu kelompok.
4. Situasional
Penelitian terkait dengan cuaca dan tingkah laku
menyebutkan bahwa ketidaknyamanan akibat panas menyebabkan kerusuhan dan
bentuk-bentuk agresi lainnya. (Harries K, Stadler, 1983 dalam Gifford, 1997).
Sumber
Daya
Daya dukung alam terhadap kebutuhan manusia tidak selamnya mencukupi. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya lebih untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pertama, mencari sumber pemenuhan kebutuhan lain; kedua, mengambil paksa dari pihak yang memilikinya.
Daya dukung alam terhadap kebutuhan manusia tidak selamnya mencukupi. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya lebih untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pertama, mencari sumber pemenuhan kebutuhan lain; kedua, mengambil paksa dari pihak yang memilikinya.
6.
Media
Massa
Menurut Ade E. Mardiana, tayangan dari televisi
berpotensi besar diimitasi oleh pemirsanya (Kompas, 10 November 2008). Oleh
karena itu, kemudian dilakukan penelitian tentang hubungan kekerasan dan
televisi dengan mengajukan hipotesis “mengamati kekerasan akan meningkatkan
agresivitas” (Hadad dan Glassman, 2004). Kekerasan televise menyebabkan agresi
(Freedman, 1984). Kekerasan televise dapat menyebabkan perilaku agresif atau
antisocial pada anak-anak (Comstock, 1991; Condry, 1989; Gunter, 1994; Liebert
& Sprafkin, 1988; Roberts, 1993).
2.1.2
Pola Asuh
Definisi
Menurut
Diana Baumrind (Maccoby, 1980) pola asuh orang tua adalah interaksi antara
orang tua dengan remaja yang meliputi apa dan bagaimana orang tua memperlakukan
remaja. Proses ini juga meliputi proses mendidik, membimbing, mendisiplinkan,
dan melindungi remaja untuk mencapai kedewasaan yang sesuai dengan norma-norma
yang ada pada masyarakat.
Jenis
– jenis pola asuh menurut Diana Baumrind (1971) :
·
Pengasuhan
yang otoriter (authoritarian parenting) ialah suatu gaya
membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah
orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang otoriter
menetapkan batasan-batasan yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar
kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang otoriter
diasosiasikan dengan inkompetensi social anak-anak. Anak-anak yang orang tuanya
otoriter seringkali cemas akan perbandingan social, gagal memprakarsai
kegiatan, dan memiliki keterampilan yang rendah,. Dan di dalam suatu studi
baru-baru ini, disiplin awal yang terlalu kasar diasosiasikan dengan agresi
anak (Weiss & Others, 1992).
·
Pengasuhan
yang otoritatif (authoritative parenting) ialah mendorong
anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian
atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan
dan orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih saying kepada anak.
Pengasuhan yang otoritatif diasosiasikan dengan kompetensi social anak-anak.
·
Pengasuhan
Permisif
ü Pengasuhan
yang permissive indifferent (permisif tidak perduli) ialah suatu gaya dimana
orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Tipe pengasuhan ini
diasosiasikan dengan inkompetensi social anak, khususnya kurangnya kendali
diri.
ü Pengasuhan
yang permissive indulgent (permisif memanjakan) ialah suatu gaya pengasuhan
dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka tapi
menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka.
Karakteristik
anak berdasarkan pola asuh
- Authoritarian: penakut, pencemas, menarik diri dari pergaulan, kurang adaptif, kurang tujuan, mudah curiga pada orang lain, agresif, mudah stress, gagal memprakarsai kegiatan, dan memiliki keterampilan yang rendah
- Permisif : agresif, tidak mandiri, tidak popular dikalangan teman sebayanya, tidak menaruh hormat pada orang lain, tidak patuh pada orang tua, sok kuasa, kurang mampu mengontrol diri, dan kurang intens mengikuti pelajaran di sekolah.
- Authoritatif : mandiri, bertanggung jawab, mempunyai control diri dan kepercayaan diri yang kuat, dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dengan baik, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal yang baru, kooperatif dengan orang dewasa, penurut, patuh dan berorientasi pada prestasi.
2.1.3
Remaja
Definisi
Masa Remaja (adolescence) ialah periode
perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, yang
dimasuki pada usia kira-kira 10-12 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun.
Masa remaja bermula dengan perubahan fisik yang cepat, pertumbuhan tinggi dan
berat badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan
karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan
kumis, dan dalamnya suara. Pada masa perkembangan ini, pencapaian kemandirian
dan identitas sangat menonjol, pemikiran semakin logis, abstrak, dan
idealistis, dan semakin banyak waktu yang diluangkan di luar keluarga.
Konsep Storm and Stress view dari G. Stanley Hall mengatakan bahwa masa
remaja ialah masa pergolakan yang penuh dengan konflik dan buaian suasana hati.
Remaja adalah manusia yang sedang berada pada suatu periode kehidupan puber,
tepatnya ketika seseorang berada pada masa transisi antara masa kanak-kanak dan
masa pemulaan dewasa. Pada saat itu seorang remaja sedang meninggalkan sifat
kekanak-kanakan menuju alam dewasa yang memikul tanggung jawab dan
kewajiban-kewajiban tertentu dalam masyarakat.
Masa awal remaja ialah suatu periode
ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui tingkat anak-anak
(Steinberg, 1993). Banyak orang tua yang melihat remaja mereka berubah dari
seorang yang selalu menurut menjadi seseorang yang tidak mau menurut, melawan,
dan menentang standar-standar orang tua. Bila hal ini terjadi, orang tua
cenderung berusaha mengendalikan dengan keras dan member lebih banyak tekanan
kepada remaja agar menaati standar-standar orang tua.
Konflik yang berkepanjangan dan mendalam
ini terkait dengan sejumlah masalah remaja seperti pelarian diri dari rumah,
kenakalan remaja, putus sekolah, kehamilan dan pernikahan yang terlalu dini,
keterlibatan dengan sekte-sekte keagamaan, dan penyalahgunaan obat-obatan
(Brook, dkk, 1990).
Beberapa cirri
kepribadian remaja adalah sebagai berikut:
- Ingin tahu dan senang pada hal-hal yang mengandung bahaya
Rasa
ingin tahu membuat remaja melakukan
berbagai percobaan dan eksperimen. Kesempatan untuk keluar rumah, memungkinkan
remaja melakukan hal-hal baru.Namu, eksperimen selalu disertai dengan bahaya
dan tanggung jawab. Apakah remaja memiliki identitas positif atau negative,
bergantung pada keberhasilan eksperimennya serta tanggung jawab dan nilai-nilai
yang dianutnya.
- Menentang Otoritas
Otoritas
adalah kekuasaan, yaitu orang, lembaga, atau system yang mengatur dan
memerintah. Misalnya orang tua, kepala sekolah, guru, pemimpin, dan pemerintah.
Remaja cenderung tidak menyetujui nilai-nilai hidup orang tuanya dan menjauhkan
diri dari keterikatan dengan orang tua. Wujud dari pemberontakan antara lain,
lari dari rumah, membangkang, tidak hormat kepada orang tua, mabuk-mabukan, dan
ngebut.
- Setia kawan dengan kelompok sebaya
Remaja
merasa ada keterikatan atau kebersamaan dengan kelompok sebaya. Melalui
kehidupan kelompok, remaja dapat berperan, bereksperimen dan mengekspresikan
dirinya. Ia diterima dalam segala bentuk keberhasilan dan kegagalannya.
- Perilaku yang tidak stabil dan berubah-ubah
Pada
waktu tertentu remaja tampak bertanggung jawab, dan pada waktu lain tampak masa
bodoh. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam diri remaja terdapat konflik yang
mendalam, yang membutuhkan pengertian dan penanggulangan secara bijaksana.
Ada 4 sumber tekanan terhadap
kehidupan remaja:
1. Perorangan:
segala keinginan, kepercayaan, harapan, dan cita-citanya.
2. Keluarga:
kepercayaan dan harapan dari anggota keluarga.
3. Media:
Komunikasi media massa (tv, majalah, radio, film, internet, billboard, dll)
4. Kelompok
sebaya: pikiran, harapan, perilaku dan norma yang diterima berlaku bagi remaja.
2.2 Hipotesis
Hipotesis Ilmiah
Hipotesis
dua arah:
“Ada
hubungan antara persepsi terhadap pola asuh otoriter dengan perilaku agresif
remaja laki – laki pada masa remaja awal.”
Hipotesis
satu arah:
“Semakin
tinggi tingkat persepsi remaja laki-laki terhadap pola asuh otoriter orang
tuanya akan cenderung diikuti oleh semakin tingginya perilaku agresifnya pada
masa remaja awal.”
Hipotesis
Nihil:
“Tidak
ada hubungan antara persepsi terhadap pola asuh otoriter dengan perilaku
agresif remaja laki – laki pada masa remaja awal.”
BAB
III
METODE
PENELITIAN
1.1 Variabel dan Definisi
Operasionalisasinya
3.1.1 Variabel
·
Variabel bebas: Persepsi terhadap pola
asuh otoriter
·
Variabel terikat: Perilaku agresif
·
Variabel kendali adalah variable bebas
yang efeknya terhadap variable tergantung dikendalikan oleh peneliti dengan
cara menjadikan pengaruhnya netral. Dalam penelitian ini meliputi:
ü Jenis
kelamin, dikontrol dengan hanya meneliti sampel berjenis kelamin laki – laki
ü Tingkat
pendidikan, dikontrol dengan meneliti sampel yang sekolah di tingkat Mts kelas
1
ü Usia,
dikontrol denngan hanya memilih anak yang berusia 12-13 tahun.
·
Variabel Moderator adalah variable
yang dibiarkan bervariasi agar pengaruhnya terhadap variable tergantung dapat
diamati dan diperhitungkan sehingga diperoleh kesimpulan yang lebih cermat
mengenai hubungan variable bebas dan variable tergantungnya. Dalam penelitian
ini meliputi:
ü Status
social ekonomi, dikontrol dengan teknik randomisasi
ü Latar
Belakang Orang tua
3.1.2
Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Pesepsi
terhadap pola asuh otoriter
·
Persepsi
Persepsi
secara umum merupakan proses perolehan, penafsiran, pemilihan, dan pengaturan
informasi indrawi. Persepsi social
adalah aktivitas memersepsikan orang lain dan apa yang membuat mereka dikenali.
Sebagai bidang kajian, persepsi social adalah studi terhadap bagaimana orang
membentuk kesan dan membuat kesimpulan tentang orang lain (Teiford, 2008).
·
Pola Asuh Otoriter
Pengasuhan
yang otoriter (authoritarian parenting) ialah suatu gaya membatasi dan
menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan
menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menetapkan
batasan-batasan yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada
anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah).
Jadi,
persepsi terhadap pola asuh otoriter yaitu bagaimana anak membentuk kesan dan
membuat kesimpulan tentang orang orang tua mereka yang membatasi, menghuk um dan menuntut anak untuk mengikuti
perintah-perintah orang tua, menetapkan batasan-batasan yang tegas dan tidak
memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah).
2. Agresi
Agresi
merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/instuisi terhadap
orang/instuisi lain yang sejatinya disengaja (Berkowitz, 1993,2001 dalam
Feldman,2008). Bandura (dalam Baron dan Byrne, 1994) menyatakan bahwa perilaku
agresi merupakan hasil dari proses belajar social melalui pengamatan terhadap
dunia social.
1.2 Subjek Penelitian
Pada penelitian ini, subjek yang akan diambil adalah
remaja laki – laki pada masa remaja awal kira – kira usia 12 – 13 tahun, yang
diambil dari siswa – siswi kelas 1 MtsN Banjarmasin Selatan 1 sebanyak 30
orang. Sampel diambil secara acak dengan teknik random sampling.
1.3 Alat pengumpulan data
Pengambilan
data pada subjek penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai
alat pengumpulan data yang telah diujicobakan terlebih dahulu. Kuisioner
(questioner) sama dengan wawancara yang sangat terstruktur kecuali responden
membaca pertanyaan-pertanyaan dan menandai jawaban-jawaban mereka diatas kertas
dan bukan menjawab secara verbal kepada pewawancara. Salah satu keuntungan
utama survey dengan kuisioner yaitu sangat fleksibel dan dapat dengan mudah
diberikan kepada sejumlah besar responden.
Data
yang diperoleh lewat penggunaan kuesioner adalah data yang dikategorikan
sebagai data factual. Oleh karena itu, reliabilitas hasilnya sangat banyak
tergantung pada subjek penelitian sebagai responden, sedangkan pihak peneliti
dapat mengupayakan peningkatan reliabilitas itu dengan cara penyajian
kalimat-kalimat yang jelas dan disampaikan dengan strategi yang tepat.
Untuk
menyusunan kuesioner yang baik, peneliti perlu melakukan semacam prasurvei
terlebih dahulu ke lapangan guna memperoleh gambaran umum mengenai data apa saja
yang mungkin diperlukan dan dikumpulkan dalam penelitian dan perlu dimasukkan
dalam pertanyaan kuesioner. Hal itu penting untuk dilakukan dikarenakan suatu
kuesioner yang baik harus mencakup secara komprehensif semua data yang perlu
akan tetapi cukup singkat sehingga dapat menghindari pemborosan yang disebabkan
terkumpulnya data yang tidak relevan.
Variabel
persepsi terhadap pola asuh otoriter diukur menggunakan kuisioner. Angket
presepsi terhadap pola asuh otoriter ini terdiri dari 45 item. Skor tinggi pada
kuesioner persepsi terhadap pola asuh otoriter orang tua menunjukkan bahwa anak
mempresepsi orang tua mengasuh mereka secara otoriter. Sedangkan skor rendah
menunjukkan bahwa anak mempresepsi orang tua tidak bersikap otoriter dalam
mengasuh mereka.
Variabel
perilaku agresi diukur dengan menggunakan kuesioner yang juga telah
diujicobakan terlebih dahulu. Kuesioner ini terdiri dari 60 item. Semakin
tinggi skor pada kuisioner perilaku agresi ini menunjukkan bahwa remaja
cenderung semakin agresi. Skor yang rendah menunjukkan bahwa anak cenderung
tidak berprilaku agresi.
1.4 Prosedur
1.4.1
Penyusunan instrument
Pada
penelitian ini peneliti menggunakan instrument kuisioner yang diberikan pada siswa
sesaat sebelum mereka istirahat.
1.4.2
Persiapan Administrasi
Sebelum
pelaksanaan penelitian, peneliti melakukan persiapan administrasi berupa
permohonan izin secara lisan dan tertulis (surat izin resmi dari Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Prodi Psikologi) untuk melaksanakan penelitian pada saat
berlangsungnya pembelajaran kepada Kepala sekolah MtsN Banjarmasin Selatan 1
yang sekaligus sebagai guru salah satu mata pelajaran di sekolah tersebut.
1.4.3
Pelaksanaan Penelitian
Kuisioner
diberikan setelah mata pelajaran Bahasa Indonesia di MtsN Banjarmasin Selatan 1
selesai. Penelitian dilaksanan pada hari Selasa 19 Desember 2011 pada pukul 09.30 WITA – 10.00 WITA.
1.5 Cara analisis data
Analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier sederhana karena
hanya ada 2 variabel (satu variable independen dan satu variable dependen) yang
akan dicoba untuk dikorelasikan dan diprediksikan. Teknik regresi ini digunakan
untuk mengetahui bagaimana variable terikat dapat diramalkan melalui variable
bebas, secara individual (Sugiyono, 2003). Pengujian analisis regresi sederhana
ini dilakukan dengan menggunakan bantuan computer program SPSS versi 12.0 for
windows.
Hipotesis
Statistik
Hipotesis dua arah:
Ha; ρxy ≠ 0
Hipotesis satu arah:
Ha; ρxy > 0 (korelasi positif)
Hipotesis Nihil:
Ho; ρxy = 0
DAFTAR
PUSTAKA
Sarwono, Sarlito W, dan Meinarno,
A. Eko. 2009. Psikologi Sosial,
Jakarta: Salemba Humanika
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development Perkembangan Masa
Hidup Edisi 5 Jilid I, Jakarta: Erlangga
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup
Edisi 5 Jilid II, Jakarta: Erlangga
Azwar, Saifuddin. 1998. Metode Penelitian Edisi 1 Cetakan I,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sukmonono, Rizki Joko. 2011. Mendongkrak kecerdasan otak dengan meditasi
Cetakan I, Jakarta: Visimedia
Saad, Hasballah M. 2003. Perkelahian Pelajar Potret Siswa SMU di DKI
Jakarta, Yogyakarta: Galang Press
Sari, Ananta. 2006. Menyikapi Perilaku Agresif Anak,
Yogyakarta: Tim Pustaka Familia
Feisal, Jusuf Amir. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta:
Gema Insane Press
Byrne, Donn, dan Baron, Robert A.
2003. Psikologi Sosial jilid 2,
Jakarta: Erlangga
Martono, Lydia Harlina, dan
Joewanta, Satya. 2008. Menangkal Narkoba
dan Kekerasan untuk SMA, Remaja, dan Usia Dewasa, Jakarta: Balai Pustaka
blog Mu keren
BalasHapusterimakash mas ini sangat membantu tugas saya
BalasHapus